May 7, 2010

Sekolah

Inilah bulan penuh harap dan cemas untuk seluruh orang tua di negara ini. Pendaftaran sekolah.

Enam tahun lalu, saya masih ingat ketika harus mengantri berdesak-berdesakkan dengan anak-anak lain hanya untuk memastikan bahwa saya akan mendapatkan kursi dan melanjutkan pendidikan saya di sekolah tersebut. Sebuah SMA Negeri Unggulan yang siapapun bangga anaknya sekolah disana.

Saya tak pernah tahu persis bagaimana perasaan orang tua saya ketika itu. Tapi saya yakin bahwa orang tua saya sedang khawatir dengan biaya yang harus dikeluarkan agar si bungsu ini bisa berseragam abu-abu. Namun mereka tak pernah peduli. Pendidikan yang paling penting katanya. Saya bersyukur memiliki seorang Ayah yang sadar betul akan pentingnya pendidikan di negeri ini. Yang tahu bahwa kebodohan dekat dengan kemiskinan. Dan kemiskinan dekat dengan kekufuran. Itu kata-kata yang selalu diucapkannya. Yang selalu dicamkan kepada kami anak-anaknya.

Untuk beberapa lapisan masyarakat, sekolah merupakan masalah yang sama beratnya seperti nasi untuk hari ini. Ini bukan perkara mudah. Bahkan dalam antrian ketika itu, saya masih bisa melihat raut-raut kekhawatiran dalam wajah orang tua disana. Banyak yang mereka khawatirkan. Biaya saya yakin adalah salah satunya.

Saya selalu heran bagaimana bisa pendidikan yang paling penting bisa menjadi sesuatu yang paling mahal bagi masyarakatnya. Salah pemerintah? Sejujurnya saya sudah bosan menyalahkan mereka. Orang-orang yang jauh lebih berpengaruh-pun tak pernah didengar oleh bapak-bapak disana. Apalagi saya. Dan saya tidak berniat menjadikan tulisan ini ajang hujat menghujat. Sudahlah. Biar Tuhan yang punya balasan paling adil untuk mereka.

Kembali ke antrian. Saya ingat melihat seorang anak perempuan yang sedang membereskan berkas-berkasnya. Ia sudah diterima. Saya membayangkan bisa sekelas dengannya. Pasti menyenangkan. Oh, sungguh bahagianya punya pikiran anak kecil. Sederhana. Tapi siang itu saya tidak sesederhana biasanya. Saya hanya memandang ke sekeliling saya. Wajah yang bahagia, cemas, bingung, resah dan lelah. Semuanya ada disana. Dan tiba-tiba saya memutuskan keluar dari antrian.

Semuanya saya lakukan dengan sadar. Tidak seperti kawan-kawan saya yang berpikiran untuk sekolah di sekolah unggulan. Saya malah tidak tertarik. Tidak ada yang salah dengan sekolah unggulan memang. Sebaliknya pasti akan sangat bagus bisa mendapat pendidikan disana. Tapi saya benar-benar tidak tertarik ketika itu. Saya hanya ingin sekolah. Itu saja. Sekolah unggulan, peringkat terbaik dan yang lainnya itu seperti membebani. Dan soal biaya yang tinggi juga membuat saya malas berlama-lama ada di antrian tersebut.

Untungnya, kedua orang tua saya menyambut postif keputusan saya. Saya masuk sekolah biasa saja. Dengan orang-orang biasa saja. Gedung yang biasa saja. Peringkat yang juga biasa saja. Meski biayanya masih tergolong mahal, namun bisa dibilang biasa saja. Belakangan saya semakn sadar, mungkin sebenarnya tidaklah penting dimana kita belajar. Yang paling penting adalah bagaimana kita mempelajarinya.