Tak akan ada pembuka yang hebat untuk tulisan ini. Karena dia yang ada di dalam tulisan ini mungkin tak pernah merasa demikian. Termasuk aku yang membuatnya. Dia sama seperti aku, kau, mereka, siapapun yang ada di luar sana. Tak ada bedanya. Kita sama, manusia.
Tak bisa kutebak berapa usianya lelaki ini. Terlalu muda untuk kupanggil Bapak, namun juga rasanya tidak tepat untuk memanggilnya sekedar Mas atau Bang. Tapi tak apalah, tidak menjadi masalah cara memanggilnya. Toh ia sendiri tidak peduli mau dipanggil apa. Yang kutahu ia selalu ada di kantin di kampus tempatku menimba ilmu. Apa yang dia lakukan? Mengelap meja. Ya, pekerjaannya hanya mengelap meja. Semua meja di kantin tersebut. Tugasnya adalah membereskan semua meja yang sudah ditinggal oleh mahasiswa atau siapapun yang menggunakan meja tersebut. Bukan melayani pesanan makanan atau mengantarkannya atau menerima pembayaran atau yang lainnya.
Sangat sederhana pekerjaan ini. Sungguh! Kau hanya harus menyingkirkan semua piring atau gelas dan semua sampah yang ditinggalkan agar kemudian meja itu bisa ditempati lagi oleh orang lain yang datang kemudian. Membersihkannya dengan kain basah agar sisa-sisa makanan yang berceceran tidak menganggu kenyamanan pengguna berikutnya. Mudah bukan? Tidak sesulit bekerja di kantor, di penambangan, di kelurahan atau bahkan gedung DPR. Itu semua pekerjaan sulit. Tapi membersihkan meja? Siapapun bisa. Tapi menurutku, dialah ahlinya. Bukan karena semua meja yang dia bersihkan menjadi baru secara magis. Bukan karena makanan terasa lebih nikmat di atas meja yang dia lap. Bukan.
Entah bagaimana aku harus menjelaskannya, tapi dia seolah-olah menerima pekerjaannya secara total. Bukan dalam artian pasrah -mungkin saja, tapi aku tak tahu apa yang ada di pikirannya- tapi lebih seperti karena banyak yang membutuhkannya. Namun bukan si pengguna mejanya. Bukan mereka yang membutuhkan keberadaan si lelaki pengelap. Tapi mejanya! Ya, meja-meja itu yang membutuhkannya. Semuanya akan kotor dan tak nyaman untuk digunakan kalau tak ada yang membersihkannya. Karena itulah keberadaan dirinya menjadi penting. Karena meja-meja itu membutuhkannya.
Darimana aku tahu? Entahlah. Itu semua hanya ada di kepalaku. Aku tak pernah berbicara dengannya. Hanya sekadar ucapan terima kasih ketika dia dengan sigap datang dan membersihkan meja yang akan kududuki. Dia sendiri hanya menjawab seadanya. Yang ia lakukan tidak terpaksa, tapi juga tidak sukarela. Ia hanya harus melakukannya. Itu saja. Aku pernah mencoba memberinya uang. Bukan untuk apa-apa. Hanya uang kecil untuknya membeli rokok atau apapun yang ia mau sebagai bentuk terima kasihku karena telah membersihkan mejaku. Dan ia menolaknya. Bahkan melihat uangnya saja tak mau. Takut matanya dan segera pergi. Dan malu yang aku rasa saat itu. Malu karena aku tiba-tiba merasa seperti mencoba menyuapnya.
Ketika semua meja terisi penuh, ia hanya akan berjongkok di sudut kantin. Menunggu. Menunggu meja-meja itu membutuhkannya.