Nov 12, 2009
Obrolan senja
Tak bosankah kau ada disana Pak? Tak inginkah kau sekali saja turun dari sana? Ohh... mungkin memang tak akan mampu. Atau tak mau? Tak apa.
Tahukah kau Pak? Almarhum kakekku sangat kagum padamu. Setiap ceritanya selalu ada namamu. Kau yang terbaik katanya. Dan ia benar-benar bangga akan dirimu. Setiap namamu disebut, bara semangatnya.
Yakin kau tak mau turun sebentar Pak? Mengopi dulu mungkin? Meneduh dululah paling tidak. Pasti lelah terus berada disana bukan? Hanya menatapi kota ini tak ada menariknya. Toh mereka juga tak ada yang peduli padamu.
Lihat, hari ini aku bawa makanan. Cukup setidaknya untuk menghabiskan sore sembari berbincang Pak. Aku ingin dengar ceritamu. Tentang pertempuran-pertempuranmu itu. Tentang bagaimana negeri ini bisa berdiri. Tentang kau.
Dia masih diam saja. Tetap tegap memberi hormat entah pada siapa. Padahal siapapun tau, dia yang pantas untuk kita hormati. Mungkin dia memberi hormat pada langit. Pada penciptanya.
Menjelang malam kutinggalkan Pak Dirman di tempatnya. Masih memberi hormat
Nov 2, 2009
Kotak plastik
Langkahnya pasti. Satu demi satu seperti terukur untuk memastikan tenaganya benar-benar terpakai secara optimal. Tangannya kirinya berayun seirama dengan kaki kanannya. Sedangkan tangan kanannya memeluk, menjaga kotak plastik transparan besar yang dibawanya agar tidak jatuh. Di bahunya tergantung ransel usang yang tak jelas produsennya. Hitam. Dan pudar.
Wajahnya kadang tertunduk ketika berjalan. Seperti mengawasi batu dan kerikil agar tak mengganggu si kaki yang terus lincah melangkah. Wajahnya berkeringat, namun semangat tetap terlihat. Sesekali kadang ia merapikan kerudung putihnya. Berhenti sejenak. Bernafas. Lalu melangkah kemudian.
Di pemberhentian berikutnya ia memutuskan menawarkan kembali bawaannya pada sekelompok orang. Namun dijawab hanya dengan anggukan dan senyuman. Dengan tersenyum dan terimakasih ia cepat meninggalkan orang-orang tersebut. Bubur sumsum di kotak plastik transparannya belum ada yang keluar. Dan belum ada uang yang masuk kantongnya. Tapi ia tetap melangkah.
Aku melihatnya pertama kali ketika 2 bulan yang lalu. Ramadhan. Dalam sebuah perjalanan pulang menuju rumah di sore hari. Seorang perempuan kotak plastik berkerudung. Usianya jelas lebih tua dariku, tapi pasti tak begitu jauh. Setiap rumah di pinggir jalan ia tawarkan ta’jil (makanan pembuka puasa – peny.) yang dibawa dalam kotak plastik Tupperware-nya. Bubur sumsum dalam gelas plastik.
Pertengahan bulan ramadhan aku melihatnya lagi. Masih dengan kotak plastiknya, kerudung putih, ransel usang, jeans dan sepatu ketsnya. Juga wajah semangatnya. Yang berbeda adalah lokasi aku melihatnya. Yang pasti lebih jauh dari tempat dimana aku melihatnya pertama kali. Dan ia berada disana melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
Kali ketiga aku melihatnya. Semakin jauh lokasinya. Ramadhan sudah lama lewat. Bubur Sumsum berubah menjadi gorengan. Namun yang dilakukannya tetap sama. Semuanya sama. Kerudung putih. Kotak plastik. Senyum. Semangat. Melangkah.
Aku tak pernah tahu nama kakak ini. Mengobrol saja belum pernah. Tapi aku selalu menyebutnya: Kakak Semangat.