Dec 10, 2010

Gubuk di Tengah Hutan

Langkahnya gontai. Pelan dan tertatih-tatih. Tapi matanya nyala. Jelas terlihat raut keras wajahnya seolah menantang dunia dan berkata, "Aku tak akan mati sekarang! Tidak sekarang!" 

Lelaki itu jelas sedang sakit. Meski semangatnya terasa, namun tetap saja badannya hancur. Kelelahan dan penuh luka di sekujur badannya. Tapi bersikeras untuk berjalan. Hutan di sekelilingnya pun hanya diam. Memandangnya dengan iba dan berharap penderitaan si lelaki segera berakhir. Apapun itu bentuknya. Bahkan mungkin mati lebih baik untuknya. Tapi mereka juga berdoa dan berharap agar si Lelaki bisa sampai tujuannya. Pohon yang tinggi menunduk, memberi bayangnya untuk teduh si lelaki. Yang rendah bergeser, agar kaki si Lelaki bebas bergerak tanpa harus khawatir tersandung. Tanah meluruskan punggungnya, memudahkan jalan terjal didaki oleh si Lelaki.

Si Lelaki diam sejenak. Melihat lurus ke depan dan membayang. Dulu tak sejauh ini pikirnya. Terasa dekat sepertinya. Mana gubuk itu? Mana dia sekarang? Berjalan kembali Lelaki dengan pelan. Dia masih yakin gubuk itu akan bisa ditemukannya hari ini. Harus tekadnya. Tak boleh ia kembali ke luar hutan sana. Tidak sekarang. Nanti mungkin, tapi ia harus kembali ke gubuk itu. 

Entah ratusan berapa ia melangkah. Mungkin sudah ribuan ia lewati. Akhirnya si lelaki diam. Menyadari tanah di depan kakinya sudah habis. Ia mendongak, dan memandang gubuk tua di hadapannya. Akhirnya sampai kata hatinya. Bergerak ia mendekati gubuk tersebut dan tersadar sudah ada orang yang menunggunya. Si Lelaki tahu siapa dia. Justru karena dialah yang ia cari sebenarnya.

"Kau terlihat lelah. Duduklah dulu, minum sedikit lalu beristirahat." Sambut Lelaki Kedua di depan gubuk. 
"Ya, aku memang lelah. Ini sudah bukan waktuku. Dan sepertinya kau yang harus keluar sana. Ini memang giliranmu." Jawab Lelaki Pertama dengan kelelahan.

Berbeda dengan Lelaki Pertama, Lelaki Kedua sangat sehat bugar. Tegap berdiri dan siap untuk apa saja. Pakainnya bersih dan wangi. Diambilnya sebuah buntelan yang dibungkus kain, dan Lelaki Kedua mulai berjalan ke arah yang sudah dilalui Lelaki Pertama. Lima langkah diambilnya sebelum akhirnya dia menoleh melihat gubuk kembali yang ada di belakangnya, "Apa aku akan kembali?" tanya nya kepada Lelaki Pertama.

Lelaki Pertama hanya mengangguk pelan, "Ya, nanti kau akan kembali. Dan ketika saatnya tiba, akan ada yang menunggumu." sambung si Lelaki Pertama. 

"Apa kau yang akan menungguku?"
"Mungkin. aku tak tahu itu."
"Begitu ya? Baiklah. Semoga kita bisa bertemu lagi."

Dan Lelaki Kedua berjalan kembali. Terus menuju keluar hutan. Ia tidak lagi menengok ke arah gubuk di belakangnya. Ia tahu percuma. Karena bukan kebelakang ia menuju. Tapi harus ke depan. Hanya ke depan.

Senyum mengembang di wajahnya. Dan ia mulai berlari.





Untukmu Merah dan Putih. Ayo berlari.

Dec 7, 2010

Somay Kolong

Di bawah flyover Tanjung Barat. Harus segera pulang. Tak bermotor malam ini, jadi ia harus cepat cari angkot. Perjalanan pulang ini terasa lebih berat rasanya. Mungkin karena rasa kelelahan akibat latihan kemarin masih terasa. Semua sendi di tubuhnya rasanya masih belum menyatu di posisinya. Bahkan otot lengan kirinya terasa lebih keras dan terbentuk di banding yang kanan. Sial! Umpatnya dalam hati. Ini pasti akibat menarik rakit kemarin.
 
Bersiap menyeberang, namun masih malas bergerak. Jadi dia hanya diam dan melihat sekeliling kolong flyover ini. Ada penjual sekoteng di sampingnya. Dibelakangnya ada motor yang berjualan somay. Penjualnya sedang menyiapkan satu piring untuk pembeli. Akhirnya ia memutuskan makan malam disana. Di bawah kolong.

Dipesannya satu piring. Somay dan tahu. Seperti kebiasaannya setiap kali makan somay. Namun malam ini dia memutuskan untuk menambah menunya, pare. Dia lupa bagaimana rasanya, jadi untuk mengingatnya dia memutuskan untuk memesannya. Duduk di trotoar menghadap persimpangan di kolong flyover, ia makan somay itu pelan-pelan. Termasuk si pare yang pahit. Kini dia ingat rasanya. Dan memang benar-benar tidak enak.

Setelah semua pare termakan habis, giliran tahu yang ia makan. Baru kemudian somay sebagai penutup. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan satu porsi lima ribu. Padahal ia memakannya dengan pelan-pelan. Dia masih duduk di trotoar. Memandang orang-orang dan kendaraan saling lalu lalang berebut arah. Ramai.

Ah, memang ini ya hidup, pikirnya dalam hati. Dinamis. Seperti pare yang ada di piring somay-nya. Pahit di awal, namun dia berdoa semoga somay yang enak yang ia dapat di gigitan terakhir hidupnya. Kembali berjalan untuk pulang, langkahnya kini terasa lebih ringan.

Apa hubungannya somay dengan kehidupan? Entahlah. Dia juga tak mau pusing memikirkannya. Dia cuma berterima kasih kepada Tuhan. Lagi-lagi ada alasan untuk tersenyum dan bersyukur.

Dec 3, 2010

Gusur!

Anak kecil itu cuma berdiri diam melihat orang-orang berbaju cokelat berkerumun di depan rumahnya. Semuanya membawa palu besar. Sebesar kepalan tangannya yang digabungkan dengan kedua adiknya. Lalu sebuah kendaraan berleher panjang berwarna kuning menunggu di lapangan dekat rumahnya. Banyak orang disana. Semuanya bermuka marah dan ia tak mengerti kenapa. Kenapa?

Ibunya sedang pergi ke pasar. Katanya akan segera pulang. Tapi ini sudah siang dan Ibunya belum muncul juga. Sedang orang-orang berbaju cokelat itu sepertinya tak bisa menunggu Ibunya untuk pulang. Ia mulai bingung. Mengkhawatirkan Ibunya yang tak kunjung muncul atau rumahnya ya mulai dimasuki orang-orang aisng ini.

Adik-adiknya sudah menangis semua. Dipeluk oleh Bi Ijah, tetangganya yang rumahnya juga dimasuki orang-orang yang sama. Akhirnya dia bergerak. Mendekati orang-orang cokelat tersebut. Tangannya cuma terangkat ringan seolah mencoba memanggil salah satu dari mereka. Siapa saja yang bisa diajak berbicara tanpa harus berteriak dan palu yang berayun. Tapi yang mana? Dia bingung. 

 Satu hentakan keras menyadarkannya. Suara terkeras yang pernah didengarnya selain pesawat yang selalu lewat diatas rumahnya. Bedanya kali ini jaraknya sangat dekat. Karena asalnya adalah rumahnya. Suara itu suara rumahnya. Sesaat ia percaya tadi adalah suara rumahnya yang menjerit. Menjerit karena dipukul si leher panjang berwarna kuning. Ia hanya bertambah bingung.

Satu lengan kurus menariknya ke belakang dan memeluknya. Ah, Ia kenal tangan itu, tangan Mak. Mak sudah menangis. Sepertinya paham apa yang terjadi. Tapi Ia tidak. Ia masih belum paham. Ada apa ini? Kenapa rumahnya diserbu orang? Bahkan Ia tak mengenal siapa mereka. Bagimana mereka bisa begitu kasar kepada rumahnya. Apa salah rumahnya? Apa salah Maknya? Apa salahnya?

Tangannya menggapai-gapai ke arah rumahnya. Tertahan oleh pelukan Maknya, matanya mulai memburam. Air mata mulai menggenang. Ia belum paham. Tapi rasanya sakit. 

Dan ia berteriak. Meski yang keluar hanya suara parau yang gagap. 








Dec 2, 2010

Indonesia dan Malaysia lalu ke Barcelona dan Madrid


“Selamat malam Pak!” sambut si supir taksi ketika baru kumasuki.
“Ah, selamat malam. Kita ke Kampung Dukuh ya Pak.” Jawabku cepat. Dengan sigap argonya dinyalakan, dan taksi langsung meluncur. Kepalaku terasa berat dan wajahku panas. Flu dadakan. Dasar penyakit pasaran. Itulah alasan yang akhirnya memaksaku sedikit menggunakan kemewahan transportasi Jakarta. Mewah untukku karena taksi sama sekali bukan pilihanku dalam transportasi. Tapi malam itu tak ada pilihan lain. Aku harus cepat pulang.
“Indonesia menang juga ya?” Tiba-tiba si supir bertanya.
Apa ini? Menang apa? Bingung dengan pertanyaan ini aku cuma bisa menyahut, “Iya ya? Bagus dong!” lalu disambut tawa terpaksa. Baru aku ingat. Malam itu Indonesia melawan Malaysia dalam sebuah pertandingan sepak bola. Untung aku ingat. Dan meski aku bukan penggemar bola yang gandrung, aku cukup mengikuti perkembangan olahraga yang satu ini. Lumayan bekal obrolan kalau sedang berada di situasi kaku. Ya seperti sekarang ini.
“Lima-satu Mas. Bagus juga ya?”
“Lima-satu? Wah, bagus banget itu mah! Apa karena kandang juga ya? Tekanan dari penonton.”
“Iyalah, malu kalau kita kalah di kandang sendiri. Emang gak sempet nonton tadi Mas?”
“Iya, saya kuliah jam segitu. Jadi gak sempet. Tapi tahu skornya segitu seneng juga sih.”
“Barcelona juga hebat ya?” Tiba-tiba Indonesia ke Spanyol. Ini pasti laga beberapa hari yang lalu. Barcelona versus Real Madrid. Memang kemenangan yang bagus untuk Barcelona. Tidak bagus untuk teman-temanku yang kalah taruhan.
“Wah iya, emang pertandingan seru itu.  Udah bukan masanya Madrid lagi ya sekarang. Jauh ama Barcelona!”
“Yah, Madrid juga banyak yang cedera sih kemarin.” Timpal Pak Supir dengan mantap. Dari obrolan ini kusimpulkan Ia adalah seorang penggemar sepak bola. Atau cuma kebetulan menonton bola dan mengaggap diriku penggemar bola dan memilih sepak bolasebagai bahan obrolan di taksi.
Lalu diam sesudah Madrid-Barcelona. Obrolannya sudah habis. Atau memang kami sudah bingung mau bicara apa lagi. Tapi aku tahu supir taksi ini orang baik. Mungkin sebelumnya ia lihat wajahku yang agak kusut dan berinisiatif mengobrol. Sejujurnya, aku sangat menghargai orang-orang seperti ini. Mungkin sebenarnya dia malas untuk berbicara ke penumpangnya. Tapi ini adalah bentuk pelayanannya. Membuat siapapun yang masuk taksinya merasa nyaman dan diterima.  Jadi kuputuskan akulah yang akan membuatnya merasa kalau aku senang ada di taksinya.
“Emang narik malem apa mau pulang Pak?” Kubuka dengan pertanyaan paling biasa.
“Mau pulang mas. Kebetulan aja ketemu Mas.”
“Ohh..emang kemana baliknya Pak?”
“Lenteng, tapi rumah saya sih di Depok. Ya sekalian jadinya. Saya mah gak jauh-jauh deh.”
“Yah, tadi mau pulang dong berarti. Maaf ya Pak, jadi harus nganter saya dulu.”
“Ahh… saya mah sering kok kayak gini. Kalo pulang ada yang nyetop, ya hayuk aja. Ntar pas baliknya, siapa tau dapet lagi. Hehehe… Lagian besok libur. Jadi bisa ampe malem. Kalo masuk, saya biasanya langsung pulang aja deh.”
Saya suka Bapak ini. Jawabannya biasa saja. Ia tidak benar-benar mencoba ramah. Dia hanya menunjukkan bahwa ya memang begitulah pekerjaan yang dia jalani. Berbasa-basi mungkin juga adalah bagian dari job desc-nya.
“Udah berapa lama Pak narik taksi?”
“Wah, udah lama Mas. Udah jadi karir aja ini mah. Dari kapan ya? Umm…’94 saya mulai.”
“Waduh, saya masih igusan Pak! Masih celana merah itu! SD saya. Hehehe.”
“Hah? Iya ya? Tua saya ya? Hahaha. Wah, tahun segitu mah Depok masih sepi Mas. Sekarang rame banget.”
“Iya ya? Saya kuliah di UI sih Pak. Margonda rame banget tuh. Panas lagi.”
“Tapi di UI-nya adem ya? Banyak pohon sih tuh Mas.”
“Iya sih. Kalo kata temen saya sih, anak kosan di Margonda banyak dosanya, makanya panas Pak!”
Dan dia tertawa.
Dan sampailah aku di tujuanku.
Obrolan kami terpotong sampai disana. Kubayar sesuai Argo dengan sedikit tambahan. Kuucapkan terima kasih dan pamit pada Pak Supir. Taksinya kemudian berputar untuk kembali ke arah sebelumnya. Aku berjalan menuju pagar rumahku. Diam sejenak dan melihat ke arah taksi kembali. Sudah tidak ada ternyata.
Kapan aku terakhir berbincang dengan orang-orang seperti Pak Supir ya? Terbiasa dengan transportasi pribadi kadang membuat kita jadi tertutup dan lebih sering menghabiskan waktu dengan orang-orang yang sudah kita kenal saja. Bukan berarti itu salah. Hanya saja, tiba-tiba aku sangat menikmati obrolan penuh basa-basi barusan. Karena untuk sesaat aku tidak khawatir harus terlihat bagus atau sempurna di depan Pak Supir. Dan Pak Supir pun tidak perlu memberikan pelayanannya yang berlebihan atau bersikap dipaksakan. Secukupnya saja. Toh kami tidak saling kenal. Kami cuma dua orang asing yang bertemu karena kebutuhannya saling bergantung kepada yang lainnya. Aku butuh bantuannya untuk pulang, dan Pak Supir butuh uangku.
Masuk ke rumah aku segera membersihkan diri dan bersiap tidur. Sambil mengingat-ingat obrolan tadi aku mulai merebahkan diri. Tidak ada yang spesial sebenarnya dari obrolan itu semua. Tapi aku merasa senang.
Ah, memang selalu ada banyak alasan untuk tersenyum.
Dan bersyukur.




Dec 1, 2010

Hongkong

    "Ah gila lo!! Duit dari mana? Hongkong!!??" Teriak salah satu mahasiswa di depan saya kepada temannya.
    Entah apa yang dibicarakan, saya juga tidak tahu. Tapi sepertinya si mahasiswa ini kesal karena temannya menyepelekan masalahnya. Masalah siapa saya juga tidak tahu. Yang pasti solusinya sulit sekali sampai harus mendatangkan uang dari Hongkong. Oh, itu di kampus saya terjadinya. Sore-sore sebelum masuk kelas. Dimana yang akan saya pelajari malam itu adalah... Sebentar. Maaf, tak jadi. Tulisan ini bukan tentang kuliah saya.
    "Yeee... Dari Hongkong!" Kali ini seorang perempuan di sebuah kios.
    Mencibir sendiri sepertinya. Oh, ada handphone di tangannya. Saya kira sakit dia. Seperti kata Kang Pidi Baiq, penemuan telepon seluler sangat menguntungkan orang-orang ya? Karena sekarang berbicara sendirian tidak lagi dianggap gila. Ah, ketemu lagi dengan Hongkong. Kedua kalinya dalam satu hari ini. Semakin membuat saya bertanya-tanya tentang Hongkong.
    "Dari mana cuy?"
    "Dari Hongkong."
    Yang ini dialog dua kawan saya ketika saling berjumpa. Mungkin sedang kesal hatinya. Mukanya terlihat ditekuk. Atau jangan-jangan memang ia baru saja pulang dari Hongkong? Wah, kalau begitu kawan saya ini yang harus saya tanya.
    "Di Hongkong ada apa sih?" Tanya saya sambil mendekatinya. Dengan wajah yang heran dan tidak percaya, kawan saya ini cuma memandang saya.
    "Apa sih Bal?! Jangan ngaco deh!"
    "Eh, beneran. Hongkong?"
    "Hhhh...! Ke laut aje dah lo pada." Akhirnya kawan saya pergi. Jangan khawatir, nanti juga kembali. Saya teman yang baik soalnya. Menyesal dia kalau tak berteman dengan saya. Yang penting saya sudah tahu sekarang kalau mau ke Hongkong. Saya penasaran ada apa disana. Hampir semua orang Indonesia pernah kesana sepertinya.
    Beranjak pergi, kawan saya yang lainnya bertanya, "Mau kemana Bal?"
    "Hongkong, tapi mau cari laut dulu"

   

Tertawa

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!!!


Ah, Tuts keyboard huruf "A" dan "H" -nya memudar. Tidur ah!