Dec 7, 2010

Somay Kolong

Di bawah flyover Tanjung Barat. Harus segera pulang. Tak bermotor malam ini, jadi ia harus cepat cari angkot. Perjalanan pulang ini terasa lebih berat rasanya. Mungkin karena rasa kelelahan akibat latihan kemarin masih terasa. Semua sendi di tubuhnya rasanya masih belum menyatu di posisinya. Bahkan otot lengan kirinya terasa lebih keras dan terbentuk di banding yang kanan. Sial! Umpatnya dalam hati. Ini pasti akibat menarik rakit kemarin.
 
Bersiap menyeberang, namun masih malas bergerak. Jadi dia hanya diam dan melihat sekeliling kolong flyover ini. Ada penjual sekoteng di sampingnya. Dibelakangnya ada motor yang berjualan somay. Penjualnya sedang menyiapkan satu piring untuk pembeli. Akhirnya ia memutuskan makan malam disana. Di bawah kolong.

Dipesannya satu piring. Somay dan tahu. Seperti kebiasaannya setiap kali makan somay. Namun malam ini dia memutuskan untuk menambah menunya, pare. Dia lupa bagaimana rasanya, jadi untuk mengingatnya dia memutuskan untuk memesannya. Duduk di trotoar menghadap persimpangan di kolong flyover, ia makan somay itu pelan-pelan. Termasuk si pare yang pahit. Kini dia ingat rasanya. Dan memang benar-benar tidak enak.

Setelah semua pare termakan habis, giliran tahu yang ia makan. Baru kemudian somay sebagai penutup. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan satu porsi lima ribu. Padahal ia memakannya dengan pelan-pelan. Dia masih duduk di trotoar. Memandang orang-orang dan kendaraan saling lalu lalang berebut arah. Ramai.

Ah, memang ini ya hidup, pikirnya dalam hati. Dinamis. Seperti pare yang ada di piring somay-nya. Pahit di awal, namun dia berdoa semoga somay yang enak yang ia dapat di gigitan terakhir hidupnya. Kembali berjalan untuk pulang, langkahnya kini terasa lebih ringan.

Apa hubungannya somay dengan kehidupan? Entahlah. Dia juga tak mau pusing memikirkannya. Dia cuma berterima kasih kepada Tuhan. Lagi-lagi ada alasan untuk tersenyum dan bersyukur.

No comments:

Post a Comment