“Selamat malam Pak!” sambut si supir taksi ketika baru kumasuki.
“Ah, selamat malam. Kita ke Kampung Dukuh ya Pak.” Jawabku cepat. Dengan sigap argonya dinyalakan, dan taksi langsung meluncur. Kepalaku terasa berat dan wajahku panas. Flu dadakan. Dasar penyakit pasaran. Itulah alasan yang akhirnya memaksaku sedikit menggunakan kemewahan transportasi Jakarta. Mewah untukku karena taksi sama sekali bukan pilihanku dalam transportasi. Tapi malam itu tak ada pilihan lain. Aku harus cepat pulang.
“Indonesia menang juga ya?” Tiba-tiba si supir bertanya.
Apa ini? Menang apa? Bingung dengan pertanyaan ini aku cuma bisa menyahut, “Iya ya? Bagus dong!” lalu disambut tawa terpaksa. Baru aku ingat. Malam itu Indonesia melawan Malaysia dalam sebuah pertandingan sepak bola. Untung aku ingat. Dan meski aku bukan penggemar bola yang gandrung, aku cukup mengikuti perkembangan olahraga yang satu ini. Lumayan bekal obrolan kalau sedang berada di situasi kaku. Ya seperti sekarang ini.
“Lima-satu Mas. Bagus juga ya?”
“Lima-satu? Wah, bagus banget itu mah! Apa karena kandang juga ya? Tekanan dari penonton.”
“Iyalah, malu kalau kita kalah di kandang sendiri. Emang gak sempet nonton tadi Mas?”
“Iya, saya kuliah jam segitu. Jadi gak sempet. Tapi tahu skornya segitu seneng juga sih.”
“Barcelona juga hebat ya?” Tiba-tiba Indonesia ke Spanyol. Ini pasti laga beberapa hari yang lalu. Barcelona versus Real Madrid. Memang kemenangan yang bagus untuk Barcelona. Tidak bagus untuk teman-temanku yang kalah taruhan.
“Wah iya, emang pertandingan seru itu. Udah bukan masanya Madrid lagi ya sekarang. Jauh ama Barcelona!”
“Yah, Madrid juga banyak yang cedera sih kemarin.” Timpal Pak Supir dengan mantap. Dari obrolan ini kusimpulkan Ia adalah seorang penggemar sepak bola. Atau cuma kebetulan menonton bola dan mengaggap diriku penggemar bola dan memilih sepak bolasebagai bahan obrolan di taksi.
Lalu diam sesudah Madrid-Barcelona. Obrolannya sudah habis. Atau memang kami sudah bingung mau bicara apa lagi. Tapi aku tahu supir taksi ini orang baik. Mungkin sebelumnya ia lihat wajahku yang agak kusut dan berinisiatif mengobrol. Sejujurnya, aku sangat menghargai orang-orang seperti ini. Mungkin sebenarnya dia malas untuk berbicara ke penumpangnya. Tapi ini adalah bentuk pelayanannya. Membuat siapapun yang masuk taksinya merasa nyaman dan diterima. Jadi kuputuskan akulah yang akan membuatnya merasa kalau aku senang ada di taksinya.
“Emang narik malem apa mau pulang Pak?” Kubuka dengan pertanyaan paling biasa.
“Mau pulang mas. Kebetulan aja ketemu Mas.”
“Ohh..emang kemana baliknya Pak?”
“Lenteng, tapi rumah saya sih di Depok. Ya sekalian jadinya. Saya mah gak jauh-jauh deh.”
“Yah, tadi mau pulang dong berarti. Maaf ya Pak, jadi harus nganter saya dulu.”
“Ahh… saya mah sering kok kayak gini. Kalo pulang ada yang nyetop, ya hayuk aja. Ntar pas baliknya, siapa tau dapet lagi. Hehehe… Lagian besok libur. Jadi bisa ampe malem. Kalo masuk, saya biasanya langsung pulang aja deh.”
Saya suka Bapak ini. Jawabannya biasa saja. Ia tidak benar-benar mencoba ramah. Dia hanya menunjukkan bahwa ya memang begitulah pekerjaan yang dia jalani. Berbasa-basi mungkin juga adalah bagian dari job desc-nya.
“Udah berapa lama Pak narik taksi?”
“Wah, udah lama Mas. Udah jadi karir aja ini mah. Dari kapan ya? Umm…’94 saya mulai.”
“Waduh, saya masih igusan Pak! Masih celana merah itu! SD saya. Hehehe.”
“Hah? Iya ya? Tua saya ya? Hahaha. Wah, tahun segitu mah Depok masih sepi Mas. Sekarang rame banget.”
“Iya ya? Saya kuliah di UI sih Pak. Margonda rame banget tuh. Panas lagi.”
“Tapi di UI-nya adem ya? Banyak pohon sih tuh Mas.”
“Iya sih. Kalo kata temen saya sih, anak kosan di Margonda banyak dosanya, makanya panas Pak!”
Dan dia tertawa.
Dan sampailah aku di tujuanku.
Obrolan kami terpotong sampai disana. Kubayar sesuai Argo dengan sedikit tambahan. Kuucapkan terima kasih dan pamit pada Pak Supir. Taksinya kemudian berputar untuk kembali ke arah sebelumnya. Aku berjalan menuju pagar rumahku. Diam sejenak dan melihat ke arah taksi kembali. Sudah tidak ada ternyata.
Kapan aku terakhir berbincang dengan orang-orang seperti Pak Supir ya? Terbiasa dengan transportasi pribadi kadang membuat kita jadi tertutup dan lebih sering menghabiskan waktu dengan orang-orang yang sudah kita kenal saja. Bukan berarti itu salah. Hanya saja, tiba-tiba aku sangat menikmati obrolan penuh basa-basi barusan. Karena untuk sesaat aku tidak khawatir harus terlihat bagus atau sempurna di depan Pak Supir. Dan Pak Supir pun tidak perlu memberikan pelayanannya yang berlebihan atau bersikap dipaksakan. Secukupnya saja. Toh kami tidak saling kenal. Kami cuma dua orang asing yang bertemu karena kebutuhannya saling bergantung kepada yang lainnya. Aku butuh bantuannya untuk pulang, dan Pak Supir butuh uangku.
Masuk ke rumah aku segera membersihkan diri dan bersiap tidur. Sambil mengingat-ingat obrolan tadi aku mulai merebahkan diri. Tidak ada yang spesial sebenarnya dari obrolan itu semua. Tapi aku merasa senang.
Ah, memang selalu ada banyak alasan untuk tersenyum.
Dan bersyukur.
Nice writing :)
ReplyDeleteThanks. Masih harus banyak belajar. ;)
ReplyDelete