Nov 29, 2010

Apa Kata Kepalaku 2

Malam ini kenapa? Apa yang harus ditulis? Tak tahu. Tiba-tiba ingin menulis saja. Sial, kenapa perasaan ingin menulis selalu datang tengah malam? Memangnya aku tidak boleh punya hidup normal ya? Kenapa ide jarang muncul di siang hari? Selalu malam. Dan selalu ketika aku begadang. Sial! Sudahlah, percuma juga mengeluh. Tulis saja.

Tiba-tiba terpikirkan soal pekerjaan. Aku butuh pekerjaan yang lebih jelas sepertinya. Bukan berarti MindChamps buruk. Hanya saja lama-kelamaan aku tidak bisa berkembang disana. Terlalu rutin pekerjaannya. Ah, tapi itu satu-satunya sumber easy money yang kupunya. Kira-kira pekerjaan apa ya yang cocok? Lagipula kalau dipikir-pikir aku ini tidak punya banyak skill yang mendukung ya? Semuanya setengah-setengah sepertinya. Editing video, digital design, komputer, semuanya setengah-setengah. Tidak ada yang benar-benar dikuasai. Apa ya sesuatu yang sangat kukuasai? Hm... Berbohong? Huahaha!! Benar juga! Payah!

GTO sudah episode 32. Lumayan juga dalam satu hari ini. Tidak produktif, tapi aku cukup banyak beristirahat. Onizuka ini benar-benar orang yang payah. Tapi setidaknya dia mau kejar cita-citanya. Menjadi guru. Hmm... Kalau diingat lagi, Onizuka-lah yang membuatku ingin menjadi guru. Oiya ya? Iya, lupa? Waktu SMP kita sering menontonnya. Great Teacher Onizuka. Guru yang nyentrik. Dan kita dulu mau sepertinya. Iya. Apalagi ketika ada di OSIS 62, perasaan menyenangkan berdiskusi bersama junior LDKS atau sedikit berbagi ilmu kepada mereka sangat menyenangkan. Mungkin kenapa itu kita tiba-tiba ingin buat sekolah ya? Hahaha...! Benar juga. Oh, jangan lupakan Ka Barkah! Hooo...betul! Ka Barkah. Orang yang hebat. Gara-gara dia kita melihat sisi lain ya? Betul! Harusnya orang-orang seperti beliau ada di banyak sekolah di Indonesia ya? Iya, pasti sekolah akan terasa berbeda. Menyenangkan.

Lalu bagaimana kita bisa berakhir disini ya? Dimana maksudnya? Di Iklan dan sekarang Manajemen? Ohh.. Iya juga ya? Kita terlalu silau akan nama UI mungkin ketika itu. Tapi tidak masalah sebenarnya. Ilmu bisa apa saja dan dipelajari di mana saja. Betul juga, lagipula kalau tidak masuk ke Iklan, belum tentu kita kenal orang-orang hebat disana. Dan mungkin kita tidak bisa becita-cita baru dalam dunia sinematografi. Ah, benar juga. Semuanya baru ya ketika itu. Hah! Ada kecoa di rak buku. Sial!! Aku benci kalau mereka ada di posisi sulit seperti itu. Sebentar, sapu lidi atau Baygon? Baygon ya? Lebih mudah menjangkau posisinya. Baiklah!

Mati. Maaf ya kecoa. Sampai mana tadi? Iklan? Oh iya, betul. Iklan. Lalu ke film. Saat-saat menyenengkan kuliah disana. Tidak seperti Manajemen sekarang ya? Huffff... Sebenarya meyenangkan. Harusnya menyenangkan. Tapi mungkin karena kita masih belum terbiasa. Harusnya semester depan kita akan baik-baik saja. Semoga saja. Punggungku rasanya sulit lurus ya sekarang? Apa karena kemarin? Tidak juga. Mungkin karena terlalu sering membungkuk. Harus dibiasakan duduk dengan tegak sekarang. Hahaha...! Twitter-nya Kang Pidi Baiq selalu lucu-lucu tapi bermakna. Cerdas sekali.

Kenapa? Mulai bingung ya? Iya. Tulis apalagi? Loh? Sesuai judulnya bukan? Apa kata kepalamu, kepalaku. Iya tau! Tapi apa kata mereka? Memangnya sekarang apa yang sedang kita pikirkan? Ummm... sebentar, ada kuis Manajemen Pemasaran, bengkel motor, surat keterangan dan karakter. Karakter? Maksudnya? Entahlah. Tiba-tiba terpikirkan. Karakter siapa? Aku, kamu? Sama saja bodoh! Iya juga. Hehehe...! Lalu apa? Tak tahulah. Aku tak peduli soal itu. Mau flu sepertinya ya? Tenggorokanku sakit. Lalu bersin semakin sering.

Masih banyak ya? Mau tulis lagi? Simpan sajalah. Kita tidur.

Nov 28, 2010

Mati Pagi

Langit-langit kamarnya menjadi hal pertama yang dilihatnya. Matanya malas membuka. Memicing karena di sentuh cahaya dari sela jendela. Semua orang libur hari ini, kenapa matahari tak mau libur juga untuk sekali pikirnya. Tangannya keluar dari selimut, meraih telepon genggam di mejanya. Dibukanya pelan, sudah ada satu pesan disana. Ia lempar kembali telepon genggamnya ke meja. Malas menjawab apapun. Buatnya, pagi ini terlalu tenang untuk satu pesan. Apapun itu.

Matanya kembali menutup. Ia mau mati hari ini.

Satu Lembar Hijau

Toko Buku di dalam sebuah Mall. Berdiri ia di hadapan sebuah rak tinggi dengan penuh buku di dalamnya. Bingung melihatnya. Semua tampak bagus. Bergeser ke rak berikutnya. Sama bagusnya. Senyumnya yang kecut akhirnya muncul saat ingat satu lembar hijau di dompetnya. Percuma pikirnya berdiri terlalu lama disini. Tak ada yang bisa dibaca apalagi dibelinya. Berbalik menjauh dari rak-rak buku, keluar dari toko buku tersebut.

Ilmu itu mahal ternyata. Susah diraihnya. Teringat gurunya di SMA yang begitu mudah ia teguk ilmu darinya.

Muncul lagi senyumnya yang kecut.

Nov 27, 2010

Manusiawi

Manusiawi. Human. Apapun sebutannya, belakangan kata ini sering sekali saya dengar. Manusiawi ini, manusiawi itu, manusiawi pokoknya.

"Kan manusiawi Bal! Wajar lahh.."
"We're human after all."
"Namanya juga manusia, pasti ada salahnya. Khilaf kali!"
"It's human dude! What did you expect?"

Lama-lama saya muak mendengarnya! MUAK SEMUAK-MUAKNYA!!

Ada pergeseran makna disini. Manusiawi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "bersifat manusia." Namun sepertinya saya merasa orang-orang di sekitar saya menggunakannya sebagai dalih PEMBENARAN atas sebuah KESALAHAN. Hanya karena salah merupakan salah satu sifat kita. Kalau semua kesalahan bisa diterima dengan alasan manusiawi, saya rasa kita tidak butuh hukum atau norma. Toh manusiawi untuk berbuat salah. Jika besok saya bunuh seseorang karena emosi, maafkanlah saya. Saya manusia. Dan manusiawi untuk berbuat salah.

Saya tidak bilang saya manusia bersih. Saya sendiri hitam. Banyak salahnya. Tapi saya merasa terbebani dengan kata-kata ini. Tolong jangan jadikan ini sebagai alasan pembenaran atas kesalahan kita. Manusia. Tolong kembalikan kata ini kepada arti sebenarnya. Pada tempatnya semestinya.

Kalau semua kesalahan bisa kita maklumi dengan alasan manusiawi, saya memilih untuk tidak menjadi manusia. Dan juga manusiawi.

Nov 26, 2010

Apa Kata Kepalaku

Mau menulis. Harus menulis. Tapi apa? Apa yang mau ditulis? Apa sajalah. Yang penting tertulis. Yang penting bisa menulis. Baiklah, tulis apa saja yang terpikirkan. Ya, boleh. Itu juga boleh. Tulis semua yang kita pikirkan. Seperti kenapa kamarku masih gelap? Lampunya memang mati. Tapi ini kan sudah siang. Oh, tirainya belum kubuka. Ah, malas bergerak. Sudahlah, toh aku lebih suka gelap. Nanti saja kubuka, kalau aku sudah mau pergi dari sini. Ini hari jumat ya? Berarti nanti harus ke masjid. Sebentar, jumat? Oh, Naruto dan One Piece keluar hari ini. Baiklah, tulisannya dilanjutkan nanti saja. Lihat mereka dulu ah!

Seru. Tapi lama-lama membosankan baca komik. Aduh, kaki kiriku masih sakit. Sepertinya ada bagian yang keseleo dan memar. Harus ke dokter? Malas. Tapi sakit juga. Dadaku juga makin sesak lama-lama. Susah berdiri tegak. Semoga hanya memar. Ah, dibandingkan badanku, motorku bagaimana ya? Belum kulhat lagi kondisinya. Makin parah sepertinya. Tadi malam sepertinya cukup banyak yang bengkok. Stang, pijakan kaki juga. Hufff... Aku harus berhenti naik motor tengah malam. Bahaya dengan mata seperti ini. Dasar sipit!!! Lama-lama mengesalkan punya mata payah seperti ini. Sipit, minusnya tinggi. Serba susah.

Ah, ini Bob Dylan? Aku lupa punya lagu-lagu Bob Dylan di Itunes-ku. Sudah lama sekali ya. The answer my friend, is blowin' in the wind. Jadi begitu ya? Ada di angin ya Bob jawabannya? Baiklah, nanti aku tanya pada mereka. Semoga memang mereka punya jawabannya. Semoga ya. Harmonikanya bagus suaranya. Bob emang hebat. Aku ingin belajar harmonika. Menarik sepertinya. Lagipula bentuknya yang kecil bisa dibawa kemana-mana. Aku mau satu. Tapi uangnya? Ah, mungkin baru bulan depan aku bisa beli. Eh, apa bisa ya? Keuanganku harus dipikirkan lagi. Sejauh ini sudah berhasil menabung sedikit. Rasanya sayang kalau harus cepat-cepat dibelikan sesuatu. Tapi aku mau Harmonika. Umm... Mau main drum lagi juga. Ah, banyak maunya ternyata.

Kupingku sakit. Lagi-lagi seperti tersumbat air. Tapi kali ini sakit. Kenapa ya? Ah, terlalu banyak masalah badan ini. Dasar rongsokan! Mulai bingung mau tulis apa. Apa sudah selesai ya? Apanya? Oh, itu. Tidak tahu. Tak mau tahu. Tidur ah! Tapi sakit bukan? Iya, dadanya. Sulit diluruskan. Yakin tak mau ke rumah sakit? Mau, tapi repot. Tahu sendiri kita harus ke Pondok Gede sebelum ke Rumah Sakit. Oiya! Dasar birokrat! Sampah. Bisanya cuma buat orang lain susah!

Besok kuliah tambahan ya? PTE kalau tidak salah. Makin susah ya? Makin sulit dimengerti. Rasanya tertekan tinggal berlama-lama di kelas itu. Orang-orang sepertinya cepat mengerti ya? Kita yang terlalu bodoh, atau mereka memang pintar-pintar? Umm... sepertinya yang pertama lebih masuk akal sih. Iya juga, kita tak pernah sukses di kelas apapun yang ada angkanya. Hahaha...! Benar juga ya. Ingat Bu Laksmi ya tiba-tiba? Hehehe. Kelas paling menakutkan. Enam Dua ya? Kangen masa-masa SMA ya? Tidak juga. Yang lalu tidak bisa diulang. Cuma sekarang punya kita. Aduhai, jadi bijak sekali.

Ah, dadaku makin sakit. Baik... baik. Aku berhenti. Makin panas kamarku rasanya. Aku mau es krim. Es jeruk juga enak sepertinya. Ah, tidur!

Nov 24, 2010

Blankon dan Rompi Oranye

Jadi, pagi ini saya sudah tersadar berada di arus lalu lintas di Gatot Subroto. Menaiki Karisma tua bersama sang Ayah yang duduk di belakang. Tugas rutin harian mengantar sang Ketua Rumah bekerja. Oh Jakarta indah pagi ini. Ada motor yang ugal-ugalan, mobil mewah tak mau kalah, pegawai kantor serobotan. Indah. Ini bukan sindiran, sungguh. Jakarta memang indah. Sudah begini adanya, mau diapakan lagi? Seorang saya tak akan sangup merubahnya sendirian. Jadi yasudahlah.

Pulangnya minum kopi di tempat gaul katanya. Namanya susah, Tujuh Sebelas. Ah, orang luar memang senang yang susah-susah. Tinggal beri nama Toko Kelontong saja tidak mau. Tapi saya mau gaul sebentar di situ. Minum kopi di lantai dua sambil lihat matahari pagi. Aduhai, serasa orang sibuk. Padahal pulang ke rumah akan tidur lagi pastinya. Tapi tak apa. Saya mau menikmati waktu-waktu seperti ini. Diam dan tenang.

Di jalan kembali, Jakarta makin ramai. Tapi sepertinya tidak begitu padat pagi ini. Kemacetan masih ada, tapi tak begitu panjang atau lama. Baiklah, mungkin pagi ini saya harus berterima kasih untuk Bapak Polisi yang sedang bertugas. Pak Djoko, Pak Agus, Pak Sitorang, Pak Darmawan, dan yang lainnya. Terima kasih ya Pak! Maaf saya harus karang nama Bapak semua. Tidak mungkin saya berhenti sebentar dan lihat pengenal Bapak kan? Saya mau doakan Bapak, tapi doa harus pakai nama supaya tidak salah kirim. Saya janji hanya untuk pagi ini.

Sampailah saya di sebuah perempatan di Jakarta Selatan. Iya, saya tahu memang banyak perempatan di Jakarta Selatan. Tapi malas untuk menjelaskannya. Saya anggap semua tahu saja dimana tempatnya. Berhenti untuk lampu merah, semua menunggu. Saya berhenti di sebelah kiri, dekat trotoar. Disanalah saya melihat si Bapak atau mungkin harus saya panggil Kakek. Tua memang beliau. Saya tahu karena lihat mukanya.

Berkemeja putih dengan garis hitam tipis. Agak lusuh, tapi rapih. Celananya hitam dan sepatunya juga hitam. Sepatu kets dia pakai. Rompi oranye membalut kemejanya. Ada tulisan besar di punggungnya, DINAS KEBERSIHAN PEMDA JAKARTA SELATAN. Begitu tulisannya. Yang saya ingat begitu. Yang paling menarik adalah blankon di kepalanya. Bermotif batik seperti blankon pada umumnya. Tapi sangat cocok di kepalanya. Komposisi yang tidak pas, tapi tetap bersahaja. Ah, peduli apa si Kakek soal komposisi pakaian? Fungsi pasti yang diutamakan olehnya. Namun bicara fungsi, blankon ini tidak ada fungsinya sama sekali untuknya. Topi lebar atau caping jauh lebih ia butuhkan untuk menangkal matahari. Panasnya maksud saya. Lalu buat apa blankon? Ini yang menarik.

Kakek sedang menyapu jalanan. Daun dan puntung rokok kebanyakan yang terbawa sapunya. Gerakannya pelan tapi teratur. Setiap dua kali sapuan, kakinya bergeser selangkah. Ada harmoni disana. Bukan harmonica, tapi harmoni. Agak membungkuk, si Kakek berdiri di atas trotoar. Menyapu aspal di bawahnya. Lalu lalang motor kadang menganggunya, tapi si Kakek tetap dua sapuan dan satu langkah. Mantap. Saya lihat si kakek diam sebentar. Ada motor berhenti di jalur sapuannya rupanya. Maklum, lampu merah semua kendaraan teutama motor pasti cari tempat paling depan yang kosong. Ah Kakek, dia bahkan berhenti sebentar untuk kasih itu sepeda motor ruang untuk tunggu lampu merah. Mundur sebentar, si Kakek menaruh sapunya. Isitrahat mungkin, pikir saya.

Sebentar mata saya teralihkan. Ingin lihat Pak Polisi dulu. Tapi susah. mereka selalu pakai helm dan ada di tengah-tengah jalan. Tapi untung polwannya tidak pakai helm. Cuma topi. Kalau pakai helm juga, sayang sekali. Oiya, si Kakek! Saya lihat lagi si Kakek. Sedang telepon dia ternyata. Benar-benar kota sibuk ya ini Jakarta. Bahkan seorang tukang sapu jalanan perlu handphone. Sekarang dia ada di depan saya. Menghadap jalan yang satunya lagi. Berdiri di pinggir saluran air yang besar. Tidak kedengaran apa pembicarannya. Tapi saya juga tidak mau tahu kok. Mengangangguk-angguk lalu mengakhiri pembicaraannya. Dilihat sebentar handphonenya. Lalu pelan ia membungkuk, menggulung sedikit celana hitamnya. Kakinya yang kurus terlihat dibalut kaos kaki yang juga ternyata hitam warnanya. Dan si Kakek menyelipkan handphonenya di dalam kaos kakinya. Sesudahnya ia urai kembali celana hitamnya dan kembali berdiri. Memandang jalanan, memandang Jakarta. Menunggu antrian lampu merah terurai dan ia bisa menyelesaikan sapuannya.

Saya lihat wajahnya. Tua memang. Kakek juga ternyata lihat saya. Saya senyum kaku. Dia senyum tidak kaku. Lampu hijau. Saya meluncur kembali. Menuju rumah. Tiba-tiba saya tidak ingin tidur lagi sesampainya di sana. Ingat blankon.