Nov 24, 2010

Blankon dan Rompi Oranye

Jadi, pagi ini saya sudah tersadar berada di arus lalu lintas di Gatot Subroto. Menaiki Karisma tua bersama sang Ayah yang duduk di belakang. Tugas rutin harian mengantar sang Ketua Rumah bekerja. Oh Jakarta indah pagi ini. Ada motor yang ugal-ugalan, mobil mewah tak mau kalah, pegawai kantor serobotan. Indah. Ini bukan sindiran, sungguh. Jakarta memang indah. Sudah begini adanya, mau diapakan lagi? Seorang saya tak akan sangup merubahnya sendirian. Jadi yasudahlah.

Pulangnya minum kopi di tempat gaul katanya. Namanya susah, Tujuh Sebelas. Ah, orang luar memang senang yang susah-susah. Tinggal beri nama Toko Kelontong saja tidak mau. Tapi saya mau gaul sebentar di situ. Minum kopi di lantai dua sambil lihat matahari pagi. Aduhai, serasa orang sibuk. Padahal pulang ke rumah akan tidur lagi pastinya. Tapi tak apa. Saya mau menikmati waktu-waktu seperti ini. Diam dan tenang.

Di jalan kembali, Jakarta makin ramai. Tapi sepertinya tidak begitu padat pagi ini. Kemacetan masih ada, tapi tak begitu panjang atau lama. Baiklah, mungkin pagi ini saya harus berterima kasih untuk Bapak Polisi yang sedang bertugas. Pak Djoko, Pak Agus, Pak Sitorang, Pak Darmawan, dan yang lainnya. Terima kasih ya Pak! Maaf saya harus karang nama Bapak semua. Tidak mungkin saya berhenti sebentar dan lihat pengenal Bapak kan? Saya mau doakan Bapak, tapi doa harus pakai nama supaya tidak salah kirim. Saya janji hanya untuk pagi ini.

Sampailah saya di sebuah perempatan di Jakarta Selatan. Iya, saya tahu memang banyak perempatan di Jakarta Selatan. Tapi malas untuk menjelaskannya. Saya anggap semua tahu saja dimana tempatnya. Berhenti untuk lampu merah, semua menunggu. Saya berhenti di sebelah kiri, dekat trotoar. Disanalah saya melihat si Bapak atau mungkin harus saya panggil Kakek. Tua memang beliau. Saya tahu karena lihat mukanya.

Berkemeja putih dengan garis hitam tipis. Agak lusuh, tapi rapih. Celananya hitam dan sepatunya juga hitam. Sepatu kets dia pakai. Rompi oranye membalut kemejanya. Ada tulisan besar di punggungnya, DINAS KEBERSIHAN PEMDA JAKARTA SELATAN. Begitu tulisannya. Yang saya ingat begitu. Yang paling menarik adalah blankon di kepalanya. Bermotif batik seperti blankon pada umumnya. Tapi sangat cocok di kepalanya. Komposisi yang tidak pas, tapi tetap bersahaja. Ah, peduli apa si Kakek soal komposisi pakaian? Fungsi pasti yang diutamakan olehnya. Namun bicara fungsi, blankon ini tidak ada fungsinya sama sekali untuknya. Topi lebar atau caping jauh lebih ia butuhkan untuk menangkal matahari. Panasnya maksud saya. Lalu buat apa blankon? Ini yang menarik.

Kakek sedang menyapu jalanan. Daun dan puntung rokok kebanyakan yang terbawa sapunya. Gerakannya pelan tapi teratur. Setiap dua kali sapuan, kakinya bergeser selangkah. Ada harmoni disana. Bukan harmonica, tapi harmoni. Agak membungkuk, si Kakek berdiri di atas trotoar. Menyapu aspal di bawahnya. Lalu lalang motor kadang menganggunya, tapi si Kakek tetap dua sapuan dan satu langkah. Mantap. Saya lihat si kakek diam sebentar. Ada motor berhenti di jalur sapuannya rupanya. Maklum, lampu merah semua kendaraan teutama motor pasti cari tempat paling depan yang kosong. Ah Kakek, dia bahkan berhenti sebentar untuk kasih itu sepeda motor ruang untuk tunggu lampu merah. Mundur sebentar, si Kakek menaruh sapunya. Isitrahat mungkin, pikir saya.

Sebentar mata saya teralihkan. Ingin lihat Pak Polisi dulu. Tapi susah. mereka selalu pakai helm dan ada di tengah-tengah jalan. Tapi untung polwannya tidak pakai helm. Cuma topi. Kalau pakai helm juga, sayang sekali. Oiya, si Kakek! Saya lihat lagi si Kakek. Sedang telepon dia ternyata. Benar-benar kota sibuk ya ini Jakarta. Bahkan seorang tukang sapu jalanan perlu handphone. Sekarang dia ada di depan saya. Menghadap jalan yang satunya lagi. Berdiri di pinggir saluran air yang besar. Tidak kedengaran apa pembicarannya. Tapi saya juga tidak mau tahu kok. Mengangangguk-angguk lalu mengakhiri pembicaraannya. Dilihat sebentar handphonenya. Lalu pelan ia membungkuk, menggulung sedikit celana hitamnya. Kakinya yang kurus terlihat dibalut kaos kaki yang juga ternyata hitam warnanya. Dan si Kakek menyelipkan handphonenya di dalam kaos kakinya. Sesudahnya ia urai kembali celana hitamnya dan kembali berdiri. Memandang jalanan, memandang Jakarta. Menunggu antrian lampu merah terurai dan ia bisa menyelesaikan sapuannya.

Saya lihat wajahnya. Tua memang. Kakek juga ternyata lihat saya. Saya senyum kaku. Dia senyum tidak kaku. Lampu hijau. Saya meluncur kembali. Menuju rumah. Tiba-tiba saya tidak ingin tidur lagi sesampainya di sana. Ingat blankon.

No comments:

Post a Comment