Dec 10, 2010

Gubuk di Tengah Hutan

Langkahnya gontai. Pelan dan tertatih-tatih. Tapi matanya nyala. Jelas terlihat raut keras wajahnya seolah menantang dunia dan berkata, "Aku tak akan mati sekarang! Tidak sekarang!" 

Lelaki itu jelas sedang sakit. Meski semangatnya terasa, namun tetap saja badannya hancur. Kelelahan dan penuh luka di sekujur badannya. Tapi bersikeras untuk berjalan. Hutan di sekelilingnya pun hanya diam. Memandangnya dengan iba dan berharap penderitaan si lelaki segera berakhir. Apapun itu bentuknya. Bahkan mungkin mati lebih baik untuknya. Tapi mereka juga berdoa dan berharap agar si Lelaki bisa sampai tujuannya. Pohon yang tinggi menunduk, memberi bayangnya untuk teduh si lelaki. Yang rendah bergeser, agar kaki si Lelaki bebas bergerak tanpa harus khawatir tersandung. Tanah meluruskan punggungnya, memudahkan jalan terjal didaki oleh si Lelaki.

Si Lelaki diam sejenak. Melihat lurus ke depan dan membayang. Dulu tak sejauh ini pikirnya. Terasa dekat sepertinya. Mana gubuk itu? Mana dia sekarang? Berjalan kembali Lelaki dengan pelan. Dia masih yakin gubuk itu akan bisa ditemukannya hari ini. Harus tekadnya. Tak boleh ia kembali ke luar hutan sana. Tidak sekarang. Nanti mungkin, tapi ia harus kembali ke gubuk itu. 

Entah ratusan berapa ia melangkah. Mungkin sudah ribuan ia lewati. Akhirnya si lelaki diam. Menyadari tanah di depan kakinya sudah habis. Ia mendongak, dan memandang gubuk tua di hadapannya. Akhirnya sampai kata hatinya. Bergerak ia mendekati gubuk tersebut dan tersadar sudah ada orang yang menunggunya. Si Lelaki tahu siapa dia. Justru karena dialah yang ia cari sebenarnya.

"Kau terlihat lelah. Duduklah dulu, minum sedikit lalu beristirahat." Sambut Lelaki Kedua di depan gubuk. 
"Ya, aku memang lelah. Ini sudah bukan waktuku. Dan sepertinya kau yang harus keluar sana. Ini memang giliranmu." Jawab Lelaki Pertama dengan kelelahan.

Berbeda dengan Lelaki Pertama, Lelaki Kedua sangat sehat bugar. Tegap berdiri dan siap untuk apa saja. Pakainnya bersih dan wangi. Diambilnya sebuah buntelan yang dibungkus kain, dan Lelaki Kedua mulai berjalan ke arah yang sudah dilalui Lelaki Pertama. Lima langkah diambilnya sebelum akhirnya dia menoleh melihat gubuk kembali yang ada di belakangnya, "Apa aku akan kembali?" tanya nya kepada Lelaki Pertama.

Lelaki Pertama hanya mengangguk pelan, "Ya, nanti kau akan kembali. Dan ketika saatnya tiba, akan ada yang menunggumu." sambung si Lelaki Pertama. 

"Apa kau yang akan menungguku?"
"Mungkin. aku tak tahu itu."
"Begitu ya? Baiklah. Semoga kita bisa bertemu lagi."

Dan Lelaki Kedua berjalan kembali. Terus menuju keluar hutan. Ia tidak lagi menengok ke arah gubuk di belakangnya. Ia tahu percuma. Karena bukan kebelakang ia menuju. Tapi harus ke depan. Hanya ke depan.

Senyum mengembang di wajahnya. Dan ia mulai berlari.





Untukmu Merah dan Putih. Ayo berlari.

Dec 7, 2010

Somay Kolong

Di bawah flyover Tanjung Barat. Harus segera pulang. Tak bermotor malam ini, jadi ia harus cepat cari angkot. Perjalanan pulang ini terasa lebih berat rasanya. Mungkin karena rasa kelelahan akibat latihan kemarin masih terasa. Semua sendi di tubuhnya rasanya masih belum menyatu di posisinya. Bahkan otot lengan kirinya terasa lebih keras dan terbentuk di banding yang kanan. Sial! Umpatnya dalam hati. Ini pasti akibat menarik rakit kemarin.
 
Bersiap menyeberang, namun masih malas bergerak. Jadi dia hanya diam dan melihat sekeliling kolong flyover ini. Ada penjual sekoteng di sampingnya. Dibelakangnya ada motor yang berjualan somay. Penjualnya sedang menyiapkan satu piring untuk pembeli. Akhirnya ia memutuskan makan malam disana. Di bawah kolong.

Dipesannya satu piring. Somay dan tahu. Seperti kebiasaannya setiap kali makan somay. Namun malam ini dia memutuskan untuk menambah menunya, pare. Dia lupa bagaimana rasanya, jadi untuk mengingatnya dia memutuskan untuk memesannya. Duduk di trotoar menghadap persimpangan di kolong flyover, ia makan somay itu pelan-pelan. Termasuk si pare yang pahit. Kini dia ingat rasanya. Dan memang benar-benar tidak enak.

Setelah semua pare termakan habis, giliran tahu yang ia makan. Baru kemudian somay sebagai penutup. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan satu porsi lima ribu. Padahal ia memakannya dengan pelan-pelan. Dia masih duduk di trotoar. Memandang orang-orang dan kendaraan saling lalu lalang berebut arah. Ramai.

Ah, memang ini ya hidup, pikirnya dalam hati. Dinamis. Seperti pare yang ada di piring somay-nya. Pahit di awal, namun dia berdoa semoga somay yang enak yang ia dapat di gigitan terakhir hidupnya. Kembali berjalan untuk pulang, langkahnya kini terasa lebih ringan.

Apa hubungannya somay dengan kehidupan? Entahlah. Dia juga tak mau pusing memikirkannya. Dia cuma berterima kasih kepada Tuhan. Lagi-lagi ada alasan untuk tersenyum dan bersyukur.

Dec 3, 2010

Gusur!

Anak kecil itu cuma berdiri diam melihat orang-orang berbaju cokelat berkerumun di depan rumahnya. Semuanya membawa palu besar. Sebesar kepalan tangannya yang digabungkan dengan kedua adiknya. Lalu sebuah kendaraan berleher panjang berwarna kuning menunggu di lapangan dekat rumahnya. Banyak orang disana. Semuanya bermuka marah dan ia tak mengerti kenapa. Kenapa?

Ibunya sedang pergi ke pasar. Katanya akan segera pulang. Tapi ini sudah siang dan Ibunya belum muncul juga. Sedang orang-orang berbaju cokelat itu sepertinya tak bisa menunggu Ibunya untuk pulang. Ia mulai bingung. Mengkhawatirkan Ibunya yang tak kunjung muncul atau rumahnya ya mulai dimasuki orang-orang aisng ini.

Adik-adiknya sudah menangis semua. Dipeluk oleh Bi Ijah, tetangganya yang rumahnya juga dimasuki orang-orang yang sama. Akhirnya dia bergerak. Mendekati orang-orang cokelat tersebut. Tangannya cuma terangkat ringan seolah mencoba memanggil salah satu dari mereka. Siapa saja yang bisa diajak berbicara tanpa harus berteriak dan palu yang berayun. Tapi yang mana? Dia bingung. 

 Satu hentakan keras menyadarkannya. Suara terkeras yang pernah didengarnya selain pesawat yang selalu lewat diatas rumahnya. Bedanya kali ini jaraknya sangat dekat. Karena asalnya adalah rumahnya. Suara itu suara rumahnya. Sesaat ia percaya tadi adalah suara rumahnya yang menjerit. Menjerit karena dipukul si leher panjang berwarna kuning. Ia hanya bertambah bingung.

Satu lengan kurus menariknya ke belakang dan memeluknya. Ah, Ia kenal tangan itu, tangan Mak. Mak sudah menangis. Sepertinya paham apa yang terjadi. Tapi Ia tidak. Ia masih belum paham. Ada apa ini? Kenapa rumahnya diserbu orang? Bahkan Ia tak mengenal siapa mereka. Bagimana mereka bisa begitu kasar kepada rumahnya. Apa salah rumahnya? Apa salah Maknya? Apa salahnya?

Tangannya menggapai-gapai ke arah rumahnya. Tertahan oleh pelukan Maknya, matanya mulai memburam. Air mata mulai menggenang. Ia belum paham. Tapi rasanya sakit. 

Dan ia berteriak. Meski yang keluar hanya suara parau yang gagap. 








Dec 2, 2010

Indonesia dan Malaysia lalu ke Barcelona dan Madrid


“Selamat malam Pak!” sambut si supir taksi ketika baru kumasuki.
“Ah, selamat malam. Kita ke Kampung Dukuh ya Pak.” Jawabku cepat. Dengan sigap argonya dinyalakan, dan taksi langsung meluncur. Kepalaku terasa berat dan wajahku panas. Flu dadakan. Dasar penyakit pasaran. Itulah alasan yang akhirnya memaksaku sedikit menggunakan kemewahan transportasi Jakarta. Mewah untukku karena taksi sama sekali bukan pilihanku dalam transportasi. Tapi malam itu tak ada pilihan lain. Aku harus cepat pulang.
“Indonesia menang juga ya?” Tiba-tiba si supir bertanya.
Apa ini? Menang apa? Bingung dengan pertanyaan ini aku cuma bisa menyahut, “Iya ya? Bagus dong!” lalu disambut tawa terpaksa. Baru aku ingat. Malam itu Indonesia melawan Malaysia dalam sebuah pertandingan sepak bola. Untung aku ingat. Dan meski aku bukan penggemar bola yang gandrung, aku cukup mengikuti perkembangan olahraga yang satu ini. Lumayan bekal obrolan kalau sedang berada di situasi kaku. Ya seperti sekarang ini.
“Lima-satu Mas. Bagus juga ya?”
“Lima-satu? Wah, bagus banget itu mah! Apa karena kandang juga ya? Tekanan dari penonton.”
“Iyalah, malu kalau kita kalah di kandang sendiri. Emang gak sempet nonton tadi Mas?”
“Iya, saya kuliah jam segitu. Jadi gak sempet. Tapi tahu skornya segitu seneng juga sih.”
“Barcelona juga hebat ya?” Tiba-tiba Indonesia ke Spanyol. Ini pasti laga beberapa hari yang lalu. Barcelona versus Real Madrid. Memang kemenangan yang bagus untuk Barcelona. Tidak bagus untuk teman-temanku yang kalah taruhan.
“Wah iya, emang pertandingan seru itu.  Udah bukan masanya Madrid lagi ya sekarang. Jauh ama Barcelona!”
“Yah, Madrid juga banyak yang cedera sih kemarin.” Timpal Pak Supir dengan mantap. Dari obrolan ini kusimpulkan Ia adalah seorang penggemar sepak bola. Atau cuma kebetulan menonton bola dan mengaggap diriku penggemar bola dan memilih sepak bolasebagai bahan obrolan di taksi.
Lalu diam sesudah Madrid-Barcelona. Obrolannya sudah habis. Atau memang kami sudah bingung mau bicara apa lagi. Tapi aku tahu supir taksi ini orang baik. Mungkin sebelumnya ia lihat wajahku yang agak kusut dan berinisiatif mengobrol. Sejujurnya, aku sangat menghargai orang-orang seperti ini. Mungkin sebenarnya dia malas untuk berbicara ke penumpangnya. Tapi ini adalah bentuk pelayanannya. Membuat siapapun yang masuk taksinya merasa nyaman dan diterima.  Jadi kuputuskan akulah yang akan membuatnya merasa kalau aku senang ada di taksinya.
“Emang narik malem apa mau pulang Pak?” Kubuka dengan pertanyaan paling biasa.
“Mau pulang mas. Kebetulan aja ketemu Mas.”
“Ohh..emang kemana baliknya Pak?”
“Lenteng, tapi rumah saya sih di Depok. Ya sekalian jadinya. Saya mah gak jauh-jauh deh.”
“Yah, tadi mau pulang dong berarti. Maaf ya Pak, jadi harus nganter saya dulu.”
“Ahh… saya mah sering kok kayak gini. Kalo pulang ada yang nyetop, ya hayuk aja. Ntar pas baliknya, siapa tau dapet lagi. Hehehe… Lagian besok libur. Jadi bisa ampe malem. Kalo masuk, saya biasanya langsung pulang aja deh.”
Saya suka Bapak ini. Jawabannya biasa saja. Ia tidak benar-benar mencoba ramah. Dia hanya menunjukkan bahwa ya memang begitulah pekerjaan yang dia jalani. Berbasa-basi mungkin juga adalah bagian dari job desc-nya.
“Udah berapa lama Pak narik taksi?”
“Wah, udah lama Mas. Udah jadi karir aja ini mah. Dari kapan ya? Umm…’94 saya mulai.”
“Waduh, saya masih igusan Pak! Masih celana merah itu! SD saya. Hehehe.”
“Hah? Iya ya? Tua saya ya? Hahaha. Wah, tahun segitu mah Depok masih sepi Mas. Sekarang rame banget.”
“Iya ya? Saya kuliah di UI sih Pak. Margonda rame banget tuh. Panas lagi.”
“Tapi di UI-nya adem ya? Banyak pohon sih tuh Mas.”
“Iya sih. Kalo kata temen saya sih, anak kosan di Margonda banyak dosanya, makanya panas Pak!”
Dan dia tertawa.
Dan sampailah aku di tujuanku.
Obrolan kami terpotong sampai disana. Kubayar sesuai Argo dengan sedikit tambahan. Kuucapkan terima kasih dan pamit pada Pak Supir. Taksinya kemudian berputar untuk kembali ke arah sebelumnya. Aku berjalan menuju pagar rumahku. Diam sejenak dan melihat ke arah taksi kembali. Sudah tidak ada ternyata.
Kapan aku terakhir berbincang dengan orang-orang seperti Pak Supir ya? Terbiasa dengan transportasi pribadi kadang membuat kita jadi tertutup dan lebih sering menghabiskan waktu dengan orang-orang yang sudah kita kenal saja. Bukan berarti itu salah. Hanya saja, tiba-tiba aku sangat menikmati obrolan penuh basa-basi barusan. Karena untuk sesaat aku tidak khawatir harus terlihat bagus atau sempurna di depan Pak Supir. Dan Pak Supir pun tidak perlu memberikan pelayanannya yang berlebihan atau bersikap dipaksakan. Secukupnya saja. Toh kami tidak saling kenal. Kami cuma dua orang asing yang bertemu karena kebutuhannya saling bergantung kepada yang lainnya. Aku butuh bantuannya untuk pulang, dan Pak Supir butuh uangku.
Masuk ke rumah aku segera membersihkan diri dan bersiap tidur. Sambil mengingat-ingat obrolan tadi aku mulai merebahkan diri. Tidak ada yang spesial sebenarnya dari obrolan itu semua. Tapi aku merasa senang.
Ah, memang selalu ada banyak alasan untuk tersenyum.
Dan bersyukur.




Dec 1, 2010

Hongkong

    "Ah gila lo!! Duit dari mana? Hongkong!!??" Teriak salah satu mahasiswa di depan saya kepada temannya.
    Entah apa yang dibicarakan, saya juga tidak tahu. Tapi sepertinya si mahasiswa ini kesal karena temannya menyepelekan masalahnya. Masalah siapa saya juga tidak tahu. Yang pasti solusinya sulit sekali sampai harus mendatangkan uang dari Hongkong. Oh, itu di kampus saya terjadinya. Sore-sore sebelum masuk kelas. Dimana yang akan saya pelajari malam itu adalah... Sebentar. Maaf, tak jadi. Tulisan ini bukan tentang kuliah saya.
    "Yeee... Dari Hongkong!" Kali ini seorang perempuan di sebuah kios.
    Mencibir sendiri sepertinya. Oh, ada handphone di tangannya. Saya kira sakit dia. Seperti kata Kang Pidi Baiq, penemuan telepon seluler sangat menguntungkan orang-orang ya? Karena sekarang berbicara sendirian tidak lagi dianggap gila. Ah, ketemu lagi dengan Hongkong. Kedua kalinya dalam satu hari ini. Semakin membuat saya bertanya-tanya tentang Hongkong.
    "Dari mana cuy?"
    "Dari Hongkong."
    Yang ini dialog dua kawan saya ketika saling berjumpa. Mungkin sedang kesal hatinya. Mukanya terlihat ditekuk. Atau jangan-jangan memang ia baru saja pulang dari Hongkong? Wah, kalau begitu kawan saya ini yang harus saya tanya.
    "Di Hongkong ada apa sih?" Tanya saya sambil mendekatinya. Dengan wajah yang heran dan tidak percaya, kawan saya ini cuma memandang saya.
    "Apa sih Bal?! Jangan ngaco deh!"
    "Eh, beneran. Hongkong?"
    "Hhhh...! Ke laut aje dah lo pada." Akhirnya kawan saya pergi. Jangan khawatir, nanti juga kembali. Saya teman yang baik soalnya. Menyesal dia kalau tak berteman dengan saya. Yang penting saya sudah tahu sekarang kalau mau ke Hongkong. Saya penasaran ada apa disana. Hampir semua orang Indonesia pernah kesana sepertinya.
    Beranjak pergi, kawan saya yang lainnya bertanya, "Mau kemana Bal?"
    "Hongkong, tapi mau cari laut dulu"

   

Tertawa

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!!!!


Ah, Tuts keyboard huruf "A" dan "H" -nya memudar. Tidur ah!

Nov 29, 2010

Apa Kata Kepalaku 2

Malam ini kenapa? Apa yang harus ditulis? Tak tahu. Tiba-tiba ingin menulis saja. Sial, kenapa perasaan ingin menulis selalu datang tengah malam? Memangnya aku tidak boleh punya hidup normal ya? Kenapa ide jarang muncul di siang hari? Selalu malam. Dan selalu ketika aku begadang. Sial! Sudahlah, percuma juga mengeluh. Tulis saja.

Tiba-tiba terpikirkan soal pekerjaan. Aku butuh pekerjaan yang lebih jelas sepertinya. Bukan berarti MindChamps buruk. Hanya saja lama-kelamaan aku tidak bisa berkembang disana. Terlalu rutin pekerjaannya. Ah, tapi itu satu-satunya sumber easy money yang kupunya. Kira-kira pekerjaan apa ya yang cocok? Lagipula kalau dipikir-pikir aku ini tidak punya banyak skill yang mendukung ya? Semuanya setengah-setengah sepertinya. Editing video, digital design, komputer, semuanya setengah-setengah. Tidak ada yang benar-benar dikuasai. Apa ya sesuatu yang sangat kukuasai? Hm... Berbohong? Huahaha!! Benar juga! Payah!

GTO sudah episode 32. Lumayan juga dalam satu hari ini. Tidak produktif, tapi aku cukup banyak beristirahat. Onizuka ini benar-benar orang yang payah. Tapi setidaknya dia mau kejar cita-citanya. Menjadi guru. Hmm... Kalau diingat lagi, Onizuka-lah yang membuatku ingin menjadi guru. Oiya ya? Iya, lupa? Waktu SMP kita sering menontonnya. Great Teacher Onizuka. Guru yang nyentrik. Dan kita dulu mau sepertinya. Iya. Apalagi ketika ada di OSIS 62, perasaan menyenangkan berdiskusi bersama junior LDKS atau sedikit berbagi ilmu kepada mereka sangat menyenangkan. Mungkin kenapa itu kita tiba-tiba ingin buat sekolah ya? Hahaha...! Benar juga. Oh, jangan lupakan Ka Barkah! Hooo...betul! Ka Barkah. Orang yang hebat. Gara-gara dia kita melihat sisi lain ya? Betul! Harusnya orang-orang seperti beliau ada di banyak sekolah di Indonesia ya? Iya, pasti sekolah akan terasa berbeda. Menyenangkan.

Lalu bagaimana kita bisa berakhir disini ya? Dimana maksudnya? Di Iklan dan sekarang Manajemen? Ohh.. Iya juga ya? Kita terlalu silau akan nama UI mungkin ketika itu. Tapi tidak masalah sebenarnya. Ilmu bisa apa saja dan dipelajari di mana saja. Betul juga, lagipula kalau tidak masuk ke Iklan, belum tentu kita kenal orang-orang hebat disana. Dan mungkin kita tidak bisa becita-cita baru dalam dunia sinematografi. Ah, benar juga. Semuanya baru ya ketika itu. Hah! Ada kecoa di rak buku. Sial!! Aku benci kalau mereka ada di posisi sulit seperti itu. Sebentar, sapu lidi atau Baygon? Baygon ya? Lebih mudah menjangkau posisinya. Baiklah!

Mati. Maaf ya kecoa. Sampai mana tadi? Iklan? Oh iya, betul. Iklan. Lalu ke film. Saat-saat menyenengkan kuliah disana. Tidak seperti Manajemen sekarang ya? Huffff... Sebenarya meyenangkan. Harusnya menyenangkan. Tapi mungkin karena kita masih belum terbiasa. Harusnya semester depan kita akan baik-baik saja. Semoga saja. Punggungku rasanya sulit lurus ya sekarang? Apa karena kemarin? Tidak juga. Mungkin karena terlalu sering membungkuk. Harus dibiasakan duduk dengan tegak sekarang. Hahaha...! Twitter-nya Kang Pidi Baiq selalu lucu-lucu tapi bermakna. Cerdas sekali.

Kenapa? Mulai bingung ya? Iya. Tulis apalagi? Loh? Sesuai judulnya bukan? Apa kata kepalamu, kepalaku. Iya tau! Tapi apa kata mereka? Memangnya sekarang apa yang sedang kita pikirkan? Ummm... sebentar, ada kuis Manajemen Pemasaran, bengkel motor, surat keterangan dan karakter. Karakter? Maksudnya? Entahlah. Tiba-tiba terpikirkan. Karakter siapa? Aku, kamu? Sama saja bodoh! Iya juga. Hehehe...! Lalu apa? Tak tahulah. Aku tak peduli soal itu. Mau flu sepertinya ya? Tenggorokanku sakit. Lalu bersin semakin sering.

Masih banyak ya? Mau tulis lagi? Simpan sajalah. Kita tidur.

Nov 28, 2010

Mati Pagi

Langit-langit kamarnya menjadi hal pertama yang dilihatnya. Matanya malas membuka. Memicing karena di sentuh cahaya dari sela jendela. Semua orang libur hari ini, kenapa matahari tak mau libur juga untuk sekali pikirnya. Tangannya keluar dari selimut, meraih telepon genggam di mejanya. Dibukanya pelan, sudah ada satu pesan disana. Ia lempar kembali telepon genggamnya ke meja. Malas menjawab apapun. Buatnya, pagi ini terlalu tenang untuk satu pesan. Apapun itu.

Matanya kembali menutup. Ia mau mati hari ini.

Satu Lembar Hijau

Toko Buku di dalam sebuah Mall. Berdiri ia di hadapan sebuah rak tinggi dengan penuh buku di dalamnya. Bingung melihatnya. Semua tampak bagus. Bergeser ke rak berikutnya. Sama bagusnya. Senyumnya yang kecut akhirnya muncul saat ingat satu lembar hijau di dompetnya. Percuma pikirnya berdiri terlalu lama disini. Tak ada yang bisa dibaca apalagi dibelinya. Berbalik menjauh dari rak-rak buku, keluar dari toko buku tersebut.

Ilmu itu mahal ternyata. Susah diraihnya. Teringat gurunya di SMA yang begitu mudah ia teguk ilmu darinya.

Muncul lagi senyumnya yang kecut.

Nov 27, 2010

Manusiawi

Manusiawi. Human. Apapun sebutannya, belakangan kata ini sering sekali saya dengar. Manusiawi ini, manusiawi itu, manusiawi pokoknya.

"Kan manusiawi Bal! Wajar lahh.."
"We're human after all."
"Namanya juga manusia, pasti ada salahnya. Khilaf kali!"
"It's human dude! What did you expect?"

Lama-lama saya muak mendengarnya! MUAK SEMUAK-MUAKNYA!!

Ada pergeseran makna disini. Manusiawi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "bersifat manusia." Namun sepertinya saya merasa orang-orang di sekitar saya menggunakannya sebagai dalih PEMBENARAN atas sebuah KESALAHAN. Hanya karena salah merupakan salah satu sifat kita. Kalau semua kesalahan bisa diterima dengan alasan manusiawi, saya rasa kita tidak butuh hukum atau norma. Toh manusiawi untuk berbuat salah. Jika besok saya bunuh seseorang karena emosi, maafkanlah saya. Saya manusia. Dan manusiawi untuk berbuat salah.

Saya tidak bilang saya manusia bersih. Saya sendiri hitam. Banyak salahnya. Tapi saya merasa terbebani dengan kata-kata ini. Tolong jangan jadikan ini sebagai alasan pembenaran atas kesalahan kita. Manusia. Tolong kembalikan kata ini kepada arti sebenarnya. Pada tempatnya semestinya.

Kalau semua kesalahan bisa kita maklumi dengan alasan manusiawi, saya memilih untuk tidak menjadi manusia. Dan juga manusiawi.

Nov 26, 2010

Apa Kata Kepalaku

Mau menulis. Harus menulis. Tapi apa? Apa yang mau ditulis? Apa sajalah. Yang penting tertulis. Yang penting bisa menulis. Baiklah, tulis apa saja yang terpikirkan. Ya, boleh. Itu juga boleh. Tulis semua yang kita pikirkan. Seperti kenapa kamarku masih gelap? Lampunya memang mati. Tapi ini kan sudah siang. Oh, tirainya belum kubuka. Ah, malas bergerak. Sudahlah, toh aku lebih suka gelap. Nanti saja kubuka, kalau aku sudah mau pergi dari sini. Ini hari jumat ya? Berarti nanti harus ke masjid. Sebentar, jumat? Oh, Naruto dan One Piece keluar hari ini. Baiklah, tulisannya dilanjutkan nanti saja. Lihat mereka dulu ah!

Seru. Tapi lama-lama membosankan baca komik. Aduh, kaki kiriku masih sakit. Sepertinya ada bagian yang keseleo dan memar. Harus ke dokter? Malas. Tapi sakit juga. Dadaku juga makin sesak lama-lama. Susah berdiri tegak. Semoga hanya memar. Ah, dibandingkan badanku, motorku bagaimana ya? Belum kulhat lagi kondisinya. Makin parah sepertinya. Tadi malam sepertinya cukup banyak yang bengkok. Stang, pijakan kaki juga. Hufff... Aku harus berhenti naik motor tengah malam. Bahaya dengan mata seperti ini. Dasar sipit!!! Lama-lama mengesalkan punya mata payah seperti ini. Sipit, minusnya tinggi. Serba susah.

Ah, ini Bob Dylan? Aku lupa punya lagu-lagu Bob Dylan di Itunes-ku. Sudah lama sekali ya. The answer my friend, is blowin' in the wind. Jadi begitu ya? Ada di angin ya Bob jawabannya? Baiklah, nanti aku tanya pada mereka. Semoga memang mereka punya jawabannya. Semoga ya. Harmonikanya bagus suaranya. Bob emang hebat. Aku ingin belajar harmonika. Menarik sepertinya. Lagipula bentuknya yang kecil bisa dibawa kemana-mana. Aku mau satu. Tapi uangnya? Ah, mungkin baru bulan depan aku bisa beli. Eh, apa bisa ya? Keuanganku harus dipikirkan lagi. Sejauh ini sudah berhasil menabung sedikit. Rasanya sayang kalau harus cepat-cepat dibelikan sesuatu. Tapi aku mau Harmonika. Umm... Mau main drum lagi juga. Ah, banyak maunya ternyata.

Kupingku sakit. Lagi-lagi seperti tersumbat air. Tapi kali ini sakit. Kenapa ya? Ah, terlalu banyak masalah badan ini. Dasar rongsokan! Mulai bingung mau tulis apa. Apa sudah selesai ya? Apanya? Oh, itu. Tidak tahu. Tak mau tahu. Tidur ah! Tapi sakit bukan? Iya, dadanya. Sulit diluruskan. Yakin tak mau ke rumah sakit? Mau, tapi repot. Tahu sendiri kita harus ke Pondok Gede sebelum ke Rumah Sakit. Oiya! Dasar birokrat! Sampah. Bisanya cuma buat orang lain susah!

Besok kuliah tambahan ya? PTE kalau tidak salah. Makin susah ya? Makin sulit dimengerti. Rasanya tertekan tinggal berlama-lama di kelas itu. Orang-orang sepertinya cepat mengerti ya? Kita yang terlalu bodoh, atau mereka memang pintar-pintar? Umm... sepertinya yang pertama lebih masuk akal sih. Iya juga, kita tak pernah sukses di kelas apapun yang ada angkanya. Hahaha...! Benar juga ya. Ingat Bu Laksmi ya tiba-tiba? Hehehe. Kelas paling menakutkan. Enam Dua ya? Kangen masa-masa SMA ya? Tidak juga. Yang lalu tidak bisa diulang. Cuma sekarang punya kita. Aduhai, jadi bijak sekali.

Ah, dadaku makin sakit. Baik... baik. Aku berhenti. Makin panas kamarku rasanya. Aku mau es krim. Es jeruk juga enak sepertinya. Ah, tidur!

Nov 24, 2010

Blankon dan Rompi Oranye

Jadi, pagi ini saya sudah tersadar berada di arus lalu lintas di Gatot Subroto. Menaiki Karisma tua bersama sang Ayah yang duduk di belakang. Tugas rutin harian mengantar sang Ketua Rumah bekerja. Oh Jakarta indah pagi ini. Ada motor yang ugal-ugalan, mobil mewah tak mau kalah, pegawai kantor serobotan. Indah. Ini bukan sindiran, sungguh. Jakarta memang indah. Sudah begini adanya, mau diapakan lagi? Seorang saya tak akan sangup merubahnya sendirian. Jadi yasudahlah.

Pulangnya minum kopi di tempat gaul katanya. Namanya susah, Tujuh Sebelas. Ah, orang luar memang senang yang susah-susah. Tinggal beri nama Toko Kelontong saja tidak mau. Tapi saya mau gaul sebentar di situ. Minum kopi di lantai dua sambil lihat matahari pagi. Aduhai, serasa orang sibuk. Padahal pulang ke rumah akan tidur lagi pastinya. Tapi tak apa. Saya mau menikmati waktu-waktu seperti ini. Diam dan tenang.

Di jalan kembali, Jakarta makin ramai. Tapi sepertinya tidak begitu padat pagi ini. Kemacetan masih ada, tapi tak begitu panjang atau lama. Baiklah, mungkin pagi ini saya harus berterima kasih untuk Bapak Polisi yang sedang bertugas. Pak Djoko, Pak Agus, Pak Sitorang, Pak Darmawan, dan yang lainnya. Terima kasih ya Pak! Maaf saya harus karang nama Bapak semua. Tidak mungkin saya berhenti sebentar dan lihat pengenal Bapak kan? Saya mau doakan Bapak, tapi doa harus pakai nama supaya tidak salah kirim. Saya janji hanya untuk pagi ini.

Sampailah saya di sebuah perempatan di Jakarta Selatan. Iya, saya tahu memang banyak perempatan di Jakarta Selatan. Tapi malas untuk menjelaskannya. Saya anggap semua tahu saja dimana tempatnya. Berhenti untuk lampu merah, semua menunggu. Saya berhenti di sebelah kiri, dekat trotoar. Disanalah saya melihat si Bapak atau mungkin harus saya panggil Kakek. Tua memang beliau. Saya tahu karena lihat mukanya.

Berkemeja putih dengan garis hitam tipis. Agak lusuh, tapi rapih. Celananya hitam dan sepatunya juga hitam. Sepatu kets dia pakai. Rompi oranye membalut kemejanya. Ada tulisan besar di punggungnya, DINAS KEBERSIHAN PEMDA JAKARTA SELATAN. Begitu tulisannya. Yang saya ingat begitu. Yang paling menarik adalah blankon di kepalanya. Bermotif batik seperti blankon pada umumnya. Tapi sangat cocok di kepalanya. Komposisi yang tidak pas, tapi tetap bersahaja. Ah, peduli apa si Kakek soal komposisi pakaian? Fungsi pasti yang diutamakan olehnya. Namun bicara fungsi, blankon ini tidak ada fungsinya sama sekali untuknya. Topi lebar atau caping jauh lebih ia butuhkan untuk menangkal matahari. Panasnya maksud saya. Lalu buat apa blankon? Ini yang menarik.

Kakek sedang menyapu jalanan. Daun dan puntung rokok kebanyakan yang terbawa sapunya. Gerakannya pelan tapi teratur. Setiap dua kali sapuan, kakinya bergeser selangkah. Ada harmoni disana. Bukan harmonica, tapi harmoni. Agak membungkuk, si Kakek berdiri di atas trotoar. Menyapu aspal di bawahnya. Lalu lalang motor kadang menganggunya, tapi si Kakek tetap dua sapuan dan satu langkah. Mantap. Saya lihat si kakek diam sebentar. Ada motor berhenti di jalur sapuannya rupanya. Maklum, lampu merah semua kendaraan teutama motor pasti cari tempat paling depan yang kosong. Ah Kakek, dia bahkan berhenti sebentar untuk kasih itu sepeda motor ruang untuk tunggu lampu merah. Mundur sebentar, si Kakek menaruh sapunya. Isitrahat mungkin, pikir saya.

Sebentar mata saya teralihkan. Ingin lihat Pak Polisi dulu. Tapi susah. mereka selalu pakai helm dan ada di tengah-tengah jalan. Tapi untung polwannya tidak pakai helm. Cuma topi. Kalau pakai helm juga, sayang sekali. Oiya, si Kakek! Saya lihat lagi si Kakek. Sedang telepon dia ternyata. Benar-benar kota sibuk ya ini Jakarta. Bahkan seorang tukang sapu jalanan perlu handphone. Sekarang dia ada di depan saya. Menghadap jalan yang satunya lagi. Berdiri di pinggir saluran air yang besar. Tidak kedengaran apa pembicarannya. Tapi saya juga tidak mau tahu kok. Mengangangguk-angguk lalu mengakhiri pembicaraannya. Dilihat sebentar handphonenya. Lalu pelan ia membungkuk, menggulung sedikit celana hitamnya. Kakinya yang kurus terlihat dibalut kaos kaki yang juga ternyata hitam warnanya. Dan si Kakek menyelipkan handphonenya di dalam kaos kakinya. Sesudahnya ia urai kembali celana hitamnya dan kembali berdiri. Memandang jalanan, memandang Jakarta. Menunggu antrian lampu merah terurai dan ia bisa menyelesaikan sapuannya.

Saya lihat wajahnya. Tua memang. Kakek juga ternyata lihat saya. Saya senyum kaku. Dia senyum tidak kaku. Lampu hijau. Saya meluncur kembali. Menuju rumah. Tiba-tiba saya tidak ingin tidur lagi sesampainya di sana. Ingat blankon.

Oct 21, 2010

Siapa?

Berisik.
Malam ini ribut bersuara.
Semua bicara dan bicara dan bicara.
Tapi tak ada nyata.
Ini bukan forum, bangsat!

Ini kepalaku. Rumahku.
Siapa kalian masuk dan berteriak-teriak?
Pulang kalian! Pulang!
Mati sekalian!
Mati!

Oct 7, 2010

Untuk Nona

Nona, saya suka kamu begitu. Seperti biasa kamu.
Tak perlu repot jadi ini itu. Biarlah tetap begitu.
Saya memang batu. Saya tahu itu.
Atau kadang labil berubah-rubah melulu.
Maafkan saya yang tak bisa bicara karena malu.
Tapi sungguh, tak pernah bohong saya soal rindu dan suka kamu.

Ini bukan puisi tentang kamu.
Lagipula bukan puisi kalau bentuknya begitu.
Cuma iseng-iseng melucu.
Siapa tahu Nona tambah suka padaku.

Sep 30, 2010

Malam Dimana Aku Ingin Jadi Pohon Kelapa

Saya mau jadi pohon kelapa. Malam ini saya mau jadi pohon kelapa saja sepertinya. Susah sepertinya menjadi manusia. Menjadi pohon kelapa lebih enak dan tenang. Meski kena terik dan hujan, mereka terlihat tetap santai. Lihat saja daun mereka. Ketika angin bertiup, selalu melambai menyambutnya. Terlihat bahagia bukan? Pasti menyenangkan

Saya lelah menjadi manusia. Saya mau jadi pohon kelapa.

Sep 27, 2010

Lama Tak Menulis

Post terakhir pada bulan Mei. Luar biasa. Saya sepertinya benar-benar telah lama meninggalkan kegiatan yang satu ini. Ya, menulis. Padahal saya bukan termasuk orang sibuk. Tapi setelah dipikir-pikir, memang tidak ada yang dirugikan selain saya. Toh tidak ada yang membaca blog ini pula. Hahaha...

Tapi itu tak jadi masalah. Menulis sehat untuk kesehatan mental. Setidaknya untuk saya pribadi. Jadi saya memutuskan untuk menulis kembali. Menulis apa saja. Dan bagi siapapun yang ada di luar sana yang membaca blog ini, terima kasih sudah mau meluangkan waktunya untuk membacanya. Meski mungkin tak begitu bermanfaat bagi anda, tapi terima kasih.

May 7, 2010

Sekolah

Inilah bulan penuh harap dan cemas untuk seluruh orang tua di negara ini. Pendaftaran sekolah.

Enam tahun lalu, saya masih ingat ketika harus mengantri berdesak-berdesakkan dengan anak-anak lain hanya untuk memastikan bahwa saya akan mendapatkan kursi dan melanjutkan pendidikan saya di sekolah tersebut. Sebuah SMA Negeri Unggulan yang siapapun bangga anaknya sekolah disana.

Saya tak pernah tahu persis bagaimana perasaan orang tua saya ketika itu. Tapi saya yakin bahwa orang tua saya sedang khawatir dengan biaya yang harus dikeluarkan agar si bungsu ini bisa berseragam abu-abu. Namun mereka tak pernah peduli. Pendidikan yang paling penting katanya. Saya bersyukur memiliki seorang Ayah yang sadar betul akan pentingnya pendidikan di negeri ini. Yang tahu bahwa kebodohan dekat dengan kemiskinan. Dan kemiskinan dekat dengan kekufuran. Itu kata-kata yang selalu diucapkannya. Yang selalu dicamkan kepada kami anak-anaknya.

Untuk beberapa lapisan masyarakat, sekolah merupakan masalah yang sama beratnya seperti nasi untuk hari ini. Ini bukan perkara mudah. Bahkan dalam antrian ketika itu, saya masih bisa melihat raut-raut kekhawatiran dalam wajah orang tua disana. Banyak yang mereka khawatirkan. Biaya saya yakin adalah salah satunya.

Saya selalu heran bagaimana bisa pendidikan yang paling penting bisa menjadi sesuatu yang paling mahal bagi masyarakatnya. Salah pemerintah? Sejujurnya saya sudah bosan menyalahkan mereka. Orang-orang yang jauh lebih berpengaruh-pun tak pernah didengar oleh bapak-bapak disana. Apalagi saya. Dan saya tidak berniat menjadikan tulisan ini ajang hujat menghujat. Sudahlah. Biar Tuhan yang punya balasan paling adil untuk mereka.

Kembali ke antrian. Saya ingat melihat seorang anak perempuan yang sedang membereskan berkas-berkasnya. Ia sudah diterima. Saya membayangkan bisa sekelas dengannya. Pasti menyenangkan. Oh, sungguh bahagianya punya pikiran anak kecil. Sederhana. Tapi siang itu saya tidak sesederhana biasanya. Saya hanya memandang ke sekeliling saya. Wajah yang bahagia, cemas, bingung, resah dan lelah. Semuanya ada disana. Dan tiba-tiba saya memutuskan keluar dari antrian.

Semuanya saya lakukan dengan sadar. Tidak seperti kawan-kawan saya yang berpikiran untuk sekolah di sekolah unggulan. Saya malah tidak tertarik. Tidak ada yang salah dengan sekolah unggulan memang. Sebaliknya pasti akan sangat bagus bisa mendapat pendidikan disana. Tapi saya benar-benar tidak tertarik ketika itu. Saya hanya ingin sekolah. Itu saja. Sekolah unggulan, peringkat terbaik dan yang lainnya itu seperti membebani. Dan soal biaya yang tinggi juga membuat saya malas berlama-lama ada di antrian tersebut.

Untungnya, kedua orang tua saya menyambut postif keputusan saya. Saya masuk sekolah biasa saja. Dengan orang-orang biasa saja. Gedung yang biasa saja. Peringkat yang juga biasa saja. Meski biayanya masih tergolong mahal, namun bisa dibilang biasa saja. Belakangan saya semakn sadar, mungkin sebenarnya tidaklah penting dimana kita belajar. Yang paling penting adalah bagaimana kita mempelajarinya.

Apr 9, 2010

Cuma Mimpi

Ini cuma mimpi. Untungnya. Tak ada yang benar-benar nyata. Tapi mimpi, uniknya bisa membuat kita merasakan sesuatu seperti di dunia nyata. Senang, sedih bahkan takut. Seperti malam ini yang… seharusnya terasa aneh dan lucu, tapi ternyata malah menakutkan.

Ada yang pernah mendengar nama Bella Lugosi? Dia aktor terkenal di tahun 30an. Aktor yang terkenal karena memerankan peran Dracula, adaptasi dari novel Bram Stoker. Malam ini, Bella jauh-jauh dari kuburannya di Amerika sana untuk datang ke mimpi saya. Untuk apa? Entah, mungkin niatnya menakut-nakuti saya. Meski bukan kehadirannya akhirnya yang membuat saya takut, tapi malah kematiannya. Ya Bella yang sudah mati kini mati lagi di mimpi saya. Oh malangnya orang itu.

Bella adalah orang kedua dalam mimpi malam itu yang mati, setelah sebelumnya Frankie (Frank) yang mendadak mati tertawa di depan saya. Frank berbadan besar. Sangat besar. Dan ia mati sesaat setelah saya tanya ruangan di belakang panggung saat kami semua mementaskan pertunjukkan di sebuah gedung. Oiya, disana ada juga Vampira (aktris US di tahun 30an) dan Bang Beni. Yup! Bang Beni merupakan seorang Betawi. Dan kehadirannya sebagai satu-satunya orang betawi di tengah-tengah orang bule di dalam mimpi saya juga sama misterinya dengan kenapa saya ada disana.

Oke, apa yang sebenarnya terjadi?

Malam itu, Bang Beni ingin membuat sebuah pertunjukkan lenong di rumahnya. Lenong yang berceritakan sejarah mengenai orang-orang Betawi jaman penjajahan Belanda. Hebatnya, Bang Beni berhasil mengajak Bella Lugosi, Frank dan Vampira untuk main di lenongnya. Meski saya heran dengan Bang Beni yang malah mempekerjakan bule untuk bermain lenong. Memang unik, tapi ada apa dengan Bang Bokir, Mandra dan seniman betawi lainnya? Ah, entahlah, namanya juga mimpi. Suka-suka merekalah. Atau suka-suka saya.

Pertunjukkan berjalan baik sampai saya datang ke belakang panggung dan menemukan sebuah ruangan yang belum spernah saya lihat. Di dekat saya ketika itu ada Frank. Maka saya tanya dia, “Ruangan apa ini Frank?”

“Gak tau.” Balas Frank singkat. “Gak boleh ada yang masuk sama Bang Beni kesana.” Lanjutnya.

“Masa? Emang isinya apa ya Frank?” tanya saya.

Tiba-tiba Frank tertawa, seolah menertawakan saya yang berusaha mencari tauh apa yang ada di dalam ruangan tersebut. Frank tertawa pelan, lalu keras dan akhirnya sepeti mengejang. Lalu dia mati dengan mulut menganga setelah tertawa. Luar biasa. Begitu saja dia mati.

Kaget dengan apa yang terjadi, saya hanya diam mematung melihat Frank di lantai. Lalu Bella muncul dan bertanya kenapa Frank mati? Lalu saya ceritakan apa yang terjadi, juga rasa penasaran saya dengan ruangan tersebut. Lalu Bella tiba-tiba bergetar dan mulai tertawa. Dan sama seperti Frank, Bella lalu mati.

Ada yang aneh dengan ruangan tersebut. Saya yakin itu. Semua korban mati berhubungan dengan ruangan tersebut. Apa ruangan tersebut yang menyebabkan kematian mreka? Sepetinya ada lagi sesuatu yang menjadi kesamaan semua korban. Semuanya mati setelah ditanya, lalu tertawa mengejang. Apa lagi ya?

Oh, iya. Semuanya ditanya oleh saya.

Ah, cuma mimpi.